Pusat Studi Wanita (PSW) Soegijapranata Catholic University (SCU) menggelar Kolokium Nasional bertajuk “SDGs: Kesetaraan Identitas dan Keberlanjutan Lingkungan” di Gedung Mikael, Kampus 1 SCU Bendan pada Rabu, 27 Agustus 2025. Forum ini dihadiri oleh sejumlah sivitas akademika dari berbagai perguruan tinggi, termasuk UNDIP, UBAYA, dan UPGRIS.
Menurut keterangan Ketua PSW SCU Dyah Wulandari, Ph.D, forum ini berangkat dari implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang masih menghadapi tantangan besar. Ia menyebut bahwa krisis iklim, ketimpangan gender, kekerasan berbasis identitas sosial, hingga marginalisasi masyarakat lokal dalam kebijakan lingkungan masih menjadi PR besar implementasi SDGs di Indonesia.
Menurutnya, SDGs tidak bisa diwujudkan hanya melalui pendekatan pembangunan top-down. “Perlunya penekanan bahwa perspektif ekofeminisme, eko queer, dan pengetahuan lokal dapat mendukung SDGs agar berprinsip no one left behind,” tandasnya. Ekofeminisme sendiri merupakan pendekatan yang menghubungkan isu lingkungan dengan perjuangan kesetaraan gender, sementara eko queer menyoroti pentingnya memperhitungkan keberagaman orientasi seksual dan identitas gender dalam advokasi lingkungan, agar kelompok rentan tidak lagi terpinggirkan.
Berkaca pada hal tersebut, Keynote Speaker dari Sekar Kawung Foundation, Chandra Kirana Prijosusilo membuka diskusi dengan paparan “SDGs: Kesetaraan Identitas dan Keberlanjutan Lingkungan – Mungkinkah?” untuk merefleksikan kemungkinan pencapaian SDGs.
Dari sisi pangan dan ketimpangan, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian SCU Yohannes Budi Widianarko melalui paparan “Hambatan Struktural dalam Sistem Pangan – Perempuan Pantura Jawa Tengah dalam Siluet Ketimpangan Global,” menyoroti kerentanan perempuan Pantura Jawa Tengah akibat struktur pangan dunia yang timpang.
Sementara itu, aktivis dan peneliti Dewi Candraningrum menegaskan perlunya perspektif lokal untuk menghadirkan pembangunan yang lebih adil melalui paparan “Meretas Indikator Global: Epistemologi Lokal dan Dekolonisasi dalam Pencapaian SDG 5 di Indonesia.” Dari ranah budaya, Dosen Faculty of Language and Arts SCU Angelika Riyandari menuturkan kisah “Perempuan Tangguh di Tengah Perubahan Zaman: Cerita Perempuan Penenun Sumba Timur” yang mengungkap peran kearifan lokal perempuan penenun sebagai bagian dari keberlanjutan budaya dan ekonomi masyarakat setempat.
Perspektif baru ditawarkan Dosen Universitas Pattimura Firdhan Aria Wijaya, melalui paparan “Keterhubungan yang Terabaikan – Pemikiran Ekologi Queer”. Pemaparannya mendalami relasi manusia dan lingkungan dari kacamata queer, sehingga advokasi ekologi lebih inklusif bagi kelompok rentan. Diskusi ditutup paparan “SDGs, Degrowth, dan Etika Kepedulian” oleh Dosen Ilmu Hukum SCU Patrick Danardono yang mengajak peserta mempertimbangkan paradigma alternatif pembangunan melalui degrowth yang menekankan kesederhanaan dan kepedulian sebagai jalan menuju keberlanjutan.
Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) SCU, Dr. Yustina Trihoni Nalesti Dewi, yang menaungi PSW, menilai kolokium menjadi ruang refleksi bersama antara akademisi, praktisi, hingga pemangku kebijakan untuk merumuskan gerakan bersama. “Harapannya hasil diskusi dapat mendorong potensi kolaboratif untuk menghasilkan luaran akademik, termasuk buku yang bisa memperkaya wacana publik,” tandasnya.
Senada dengan itu, Dyah ingin kolokium ini tidak hanya berhenti pada forum diskusi, melainkan bisa menyusun agenda tindak lanjut. “Kami ingin hasil dari forum ini berlanjut dalam bentuk publikasi akademik, jejaring aksi, hingga rekomendasi kebijakan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat,” tegasnya. Lebih lanjut, ia berharap forum ini dapat digelar tiap tahun agar menjadi ruang dialog yang berkelanjutan untuk memperkaya kajian dan praktik di bidang gender, identitas, serta keberlanjutan lingkungan.