Pada Tahun 1992 Wanacaraka berdiri atas dasar keinginan dari 3 mahasiswa yaitu, Chr. Argo, Felix Besta Moriaga dan Daniel Hiri Wibowo setelah mereka mengikuti kegiatan P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) yang pada saat itu wajib diikuti oleh setiap mahasiswa di Indonesia. Selama masa pendirian pecinta alam tingkat universitas ketiga mahasiswa tersebut selalu berdiskusi dengan L. Eddy Wiwoho, SH., MH, yang pada saat itu Pak Edi merupakan dosen Fakultas Hukum paling aktif dalam bidang kemahasiswaan. Dari situ, Pak Edi selalu mendampingi kegiatan yang dilakukan ketiga mahasiswa tersebut[1].
Dari ketiga mahasiswa tersebut berkeinginan untuk mendirikan pecinta alam tingkat universitas sebagai wadah dari pecinta alam tingkat fakultas, yang pada saat itu sudah berdiri beberapa pecinta alam tingkat fakultas di Unika Soegijapranata (Mahupa, Mahepala, Marsiepala, dan Psikopala). Yang pada waktu itu Koko dari Mahupa, Triaksoni dari Mahepala, dan beberapa anggota dari Psikopala ingin bergabung untuk mendirikan pecinta alam tingkat universitas. Tetapi pada saat akan didirikan, sempat terjadi pertentangan dari beberapa pecinta alam tingkat fakultas, karena mereka takut akan hancur dan pendanaan tingkat Fakultas akan terpangkas jika ada tingkat Universitas. Dan dari pecinta alam tingkat fakultas sempat maju ke Pembantu Rektor (PR) Dono Sayoso untuk membatalkan pendirian pecinta alam tingkat universitas.
Dengan keteguhan dari ketiga mahasiswa tersebut, mereka tetap berkeinginan
mendirikan pecinta alam tingkat universitas. Demi terlaksananya tujuan tersebut, berencana untuk mencari pengajar yang mampu untuk melatih para anggota pecinta alam tingkat universitas. Bertemulah mereka dengan Freelance, yang sebagian dari mereka anggota psikopala dan umum dari luar Unika. Para Freelance tersebut dipercaya karena telah mendapatkan pengalaman dari pendidikan TMS 7 Yogyakarta. Para anggota Freelance yang saat itu melatih dibagi menjadi 2 tim yaitu, tim lapangan : Budi Harsono, Iyang Revin dan Utomo, dan tim mobile : Miko dan Bowo.
Setelah itu dilakukan latihan gabungan bersama dengan Mahupa, Mahepala dan Psikopala di Kali Soty, Gunung Merbabu untuk menyamakan ilmu pecinta alam se-Unika. Setelah dilakukan latihan gabungan tersebut, beberapa anggota yang ikut latihan yang sudah masuk ke pecinta alam tingkat fakultas di musuhi oleh anggota di tingkat fakultas yang tidak ikut latihan gabungan.
Dari dampak tersebut, anggota yang dimusuhi berkumpul untuk membahas tujuan awal mereka mendirikan pecinta alam tingkat universitas. Pada tanggal 29 Februari 1992 pukul 19.15 WIB di Gedong Songo, Sumowono mereka membentuk Perhimpunan Pecinta Alam dan Kegiatan Alam Bebas tingkat Universitas yang pada saat itu belum menemukan nama dan logo yang pantas untuk dijadikan identitas.
Lalu pada tanggal 24 Agustus 1992 dari pihak Universitas Katolik Soegijapranata meresmikan beberapa UKM baru di Training Centre oleh Pak Dono, termasuk pecinta alam tingkat universitas yang pada saat itu sudah mendapat agenda dana dari pihak rektorat. Sebagai syarat peresmian pendirian, terpilihlah Ketua Sementara Pecinta Alam tingkat Universitas yaitu Harry.
Pada saat pecinta alam tingkat universitas telah diakui status nya sebagai UKM yang terdaftar di bawah naungan Universitas Katolik Soegijapranata, Agenda pertama yang dilakukan oleh pecinta alam ini adalah diklat (pendidikan dan pelatihan) bagi angkatan pertama pada bulan September tahun 1993, Diklat ini diikuti oleh 12 (dua belas) orang[2].
Diklat pertama ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian utama acara, yaitu; diklat ruangan selama satu minggu, dan diklat lapangan selama satu minggu juga. Diklat lapangan memiliki rute, yaitu dimulai dari Desa Ngrawang-Gunung Andong-Gunung Telomoyo, dan berakhir di kawasan Gunung Merbabu. Diklat Survival dilakukan selama berada di kawasan Gunung Merbabu selama tiga hari. Pak Wakidi dan Pak Parto merupakan dua warga desa di Gunung Merbabu yang mempersilahkan rumahnya menjadi tempat persinggahan selama diklat ini berlangsung.
Setelah diklat selesai dilakukan, dua belas orang dinyatakan sebagai anggota resmi pertama dari pecinta alam tingkat universitas ini[3]. Dua orang freelancer yang telah membantu dalam pelatihan bagi anggota pertama pecinta alam ini, Budi Harsono dan Iyang Revin, juga mendapatkan nomor registrasi anggota[4].
Dengan status pecinta alam yang telah diakui oleh pihak rektorat ini, agenda berikut bagi para pendiri adalah berdiskusi dalam menentukan nama yang akan menjadi identitas pecinta alam. Pembahasan mengenai nama dilakukan di rumah kos Iyang Revin, pada pukul 16.00 WIB, yang pada saat itu juga dihadiri oleh Yoyok, mahasiswa psikologi angkatan ’93, yang dapat dikatakan sebagai sahabat Wanacaraka.
Pembahasan tersebut menghasilkan nama WANACARAKA, yang akhirnya digunakan sebagai nama identitas bagi pencinta alam tingkat universitas. Sekalipun nama telah ditentukan dan disetujui secara bersama, tetapi baik lambang maupun bendera yang juga merupakan bagian dari identitas pecinta alam ini belum ditemukan atau direncanakan untuk ditentukan sama sekali.
Sekalipun masih berumur sangat muda, Wanacaraka telah menjadi sebuah panitia bagi satu acara lomba, yang dimana untuk tanggal pelaksanaannya belum ditemukan hingga sekarang. Menjadi panitia bagi lomba ini merupakan salah satu bagian sejarah terpenting di dalam tubuh Wanacaraka, karena pada saat menjadi panitia, pihak Wanacaraka mendapatkan sebuah kritik dari pihak Argajaladri, pecinta alam dari Universitas Sultan Agung Semarang, yang dimana di dalam kritiknya adalah mengenai ketiadaannya bendera bagi Wanacaraka.
Setelah mendapatkan kritik dari pihak Algajaladri, pihak Wanacaraka langsung mengeluarkan bendera pertama mereka, yaitu sebuah bendera yang hanya terdiri dari tiga garis warna, yaitu merah-putih-merah, dan di tengahnya ditambahkan tulisan WANACARAKA berwarna biru.
Setelah bendera selesai dibuat dan dikeluarkan, Titian Endnanda Sukmono[5] mendesain logo Wanacaraka dan bandana, sementara untuk penyablonan dilakukan oleh Agustinus Eko. Satu hal yang menarik dari lambang Wanacaraka yang telah selesai dibuat adalah mengenai gambar gunung bersalju, dari angkatan menuju angkatan, lambang gunung tersebut selalu dijelaskan sebagai gambaran atas kawasan yang akan sering menjadi tempat bagi Wanacaraka dalam melaksanakan kegiatannya, tetapi arti sebenarnya dari gunung bersalju yang ada di dalam lambang adalah mengenai impian dari generasi awal untuk melakukan pendakian di gunung salju[6].
Setelah berdiri selama satu tahun, Wanacaraka menghasilkan AD/ART pertama mereka, mengenai waktu pasti pembuatannya tidaklah diketahui. AD/ART terbentuk dan mulai mengatur diklat sebagai acara rutin yang harus dilakukan oleh Wanacaraka setiap tahunnya. Di luar ketentuan AD/ART, adalah menjadi tradisi bagi mereka yang telah menyelesaikan masa diklat mereka untuk berkunjung ke rumah Pak Eddy setelahnya dalam rangka memperkenalkan anggota baru dan mengakrabkan diri bersama pendamping Wanacaraka.
Dari keseluruhan sejarah pertama Wanacaraka, pecinta alam ini didirikan dengan tujuan pertama sebagai kelas pengembangan bagi mereka yang telah mengikuti pelatihan-pelatihan kepencinta-alaman di fakultas, dimana dalam hal ini, mereka yang telah mengikuti latihan di pecinta alam tingk
at fakultas dapat melakukan pelatihan lanjutan di pecinta alam tingkat universitas. Konsep awal dimana seseorang harus melewati terlebih dahulu diklat pecinta alam tingkat fakultas baru diperbolehkan untuk mengikuti diklat pecinta alam tingkat universitas ini pada kenyataannya tidak pernah terlaksana, karena konsep ini dirasa cukup merendahkan bagi pecinta alam tingkat fakultas.
Wanacaraka juga didirikan karena melihat dari sejumlah banyak orang yang tertarik melakukan kegiatan pecinta alam, dan Wanacaraka ingin menjadi wadah bagi mereka, agar mereka tidak hanya beraktivitas sebagai pendaki saja, tetapi juga sebagai seorang pecinta alam[7]. Wanacaraka dibentuk juga untuk mengajarkan mengenai semboyan pecinta alam, yaitu Jangan mengambil apapun kecuali gambar, Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, Jangan membunuh apapun kecuali waktu.
[1] Terlepas dari penggunaan kata pembina yang umum digunakan pada saat tulisan ini dibuat, dari saat awal pak Eddy selalu menekankan bahwa ia tidak ingin disebuat sebagai seorang pembina, tetapi disebuat sebagai pendamping, karena memang tugas dari dirinya hanyalah melakukan pendampingan terhadap pecinta alam ini. Pada saat pak Eddy menjadi pendamping Wanacaraka, pada saat itu juga ia masih menjadi pendamping bagi dua UKM lainnya, yaitu Menwa dan Karateka.
Satu hal yang perlu diingat, dari berbagai bantuan yang pernah diberikan oleh pak Eddy terhadap keberlangsungan Wanacaraka pada tahun-tahun pertama, ia pernah menjual sebuah kendaraan miliknya, yaitu Hijet 55 WEDE untuk membantu keperluan dana bagi Wanacaraka.
[2] Dari ketiga orang yang menjadi pendiri Wanacaraka, hanya Felix Besta Moriaga yang tidak ikut menjadi peserta diklat ini, yang dikarenakan berhalangan tanpa alasan yang tidak pernah disebutkan.
[3] Diklat ini menghasilkan anggota pertama yang terdaftar di bawah nama Wanacaraka, yang setelah selesai menempuh diklat akan diberikan nomor registrasi. Nomor registrasi yang dikeluarkan bagi peserta yang telah menyelesaikan diklat pertama ini dimulai dari nomor Reg.WCR.93.002. ketiadaan bagi nomor registrasi Reg.WCR.93.001 adalah untuk menghindari kecemburuan di antara anggota.
[4] Ada satu orang yang juga turut membantu dalam pelatihan angkatan awal pecinta alam ini, yaitu Utomo, tetapi ia tidak mendapatkan nomor registrasi layaknya dua teman lainnya karena ia tidak terdaftar sebagai mahasiswa Unika Soegijapranata.
[5] Titian Endnanda Sukmono, atau yang akrab dipanggil dengan Mas Tian, sebelumnya telah mengikuti diklat ruangan bersama dengan angkatan pertama, tetapi ia kemudian tidak mengikuti diklat lapangan karena bertabrakan dengan jam kuliah yang sedang ia jalani, Tian baru menyelesaikan diklatnya dan menjadi anggota Wanacaraka pada angkatan kedua. Pada saat pembuatan logo (lambang), Tian belum menjadi anggota Wanacaraka
Beberapa individu yang telah melewati masa-masa aktif di Wanacaraka bersama Tian sering kali mengucapkan status Tian sebagai angkatan satu-setengah.
[6] Sekalipun lambang gunung salju, yang bukan seperti gunung yang sering dijadikan bagi Wanacaraka dalam melaksanakan kegiatannya memiliki arti tersendiri, tetapi belum ada yang mengerti akan arti di balik lambang dewa Ra di dalam bandana lama, ada yang menyatakan bahwa gambar tersebut sesungguhnya adalah gambar bunga pada rancangan awalnya. Gambar di bandana tersebut telah digantikan semenjak tahun 2014..
(Wanacaraka Unika)