Isu pengelolaan limbah medis di Indonesia mendapat perhatian serius melalui disertasi Lulusan ke-12 Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL) Soegijapranata Catholic University (SCU) Al Muhajirin, SKep, MHKes, yang dipaparkan dalam Ujian Terbuka Disertasi pada Kamis, 10 Juli 2025. Bertempat di Teater Thomas Aquinas, Kampus 1 SCU Bendan, Muhajirin limbah mencoba menawarkan pendekatan strategis berbasis prinsip Green Health sebagai solusi pengelolaan limbah medis.
Dalam penelitiannya, Muhajirin menemukan bahwa kendala utama dalam pengelolaan limbah medis terletak pada lemahnya kepatuhan terhadap regulasi, kurangnya kapasitas sumber daya manusia, serta keterbatasan infrastruktur dan anggaran. Meski Indonesia telah memiliki berbagai aturan terkait pengelolaan limbah, seperti PP No. 22 Tahun 2021 dan Permenkes No. 7 Tahun 2019, implementasinya di lapangan masih jauh dari ideal. Terjadi tumpang tindih kebijakan, minimnya pengawasan, dan kurangnya harmonisasi antara regulasi pusat dan daerah. Hal ini diperparah oleh belum terinternalisasinya prinsip kehati-hatian, keadilan ekologis, serta partisipasi dalam sistem manajerial rumah sakit.
“Pengaturan pengelolaan limbah medis saat ini masih menghadapi persoalan serius, terutama karena lemahnya pengawasan dan kurangnya komitmen dari pimpinan fasilitas,” ujar Muhajirin.
Ia mengusulkan perlunya reformulasi pendekatan hukum dan kebijakan yang lebih integratif dan adaptif, dengan menggabungkan prinsip Green Health ke dalam kerangka hukum lingkungan dan kesehatan. Menurutnya, konsep Green Health tidak cukup dipahami sebagai pendekatan teknis, melainkan harus menjadi kerangka berpikir menyeluruh dalam tata kelola sistem kesehatan yang berkelanjutan.
Ia juga menekankan bahwa keberhasilan pengelolaan limbah medis sangat bergantung pada kompetensi sumber daya manusia. Kurangnya tenaga kesehatan yang memahami standar pengelolaan limbah, serta minimnya pelatihan yang berkelanjutan, menyebabkan banyak prosedur dijalankan secara tidak konsisten. Muhajirin menawarkan solusi berupa penguatan kapasitas SDM melalui pelatihan berbasis e-learning, penggunaan metode gamifikasi, serta modul pelatihan praktis yang kontekstual dengan kondisi masing-masing fasilitas kesehatan.
“Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi tenaga kesehatan menjadi kunci strategis dalam meningkatkan kualitas pengelolaan limbah medis,” pungkasnya. “Model pelatihan harus sesuai kebutuhan fasilitas, dan didukung oleh sistem berbasis praktik langsung.”
Tak kalah penting, digitalisasi pelaporan menjadi komponen strategis dalam sistem pengelolaan limbah yang transparan dan akuntabel. Ia mengusulkan pemanfaatan teknologi digital, termasuk blockchain dan big data, untuk menciptakan sistem pelaporan limbah medis secara real-time. Hal ini diyakini dapat mencegah manipulasi data serta memperkuat fungsi pengawasan dan evaluasi oleh pemerintah maupun otoritas kesehatan.
“Digitalisasi menjadi alat penting untuk membangun sistem pelaporan yang akuntabel dan transparan,” terangnya. “Teknologi seperti blockchain dapat mencegah manipulasi dan memperkuat pengawasan.”
Salah satu temuan penting lainnya adalah perlunya efisiensi penganggaran berbasis risiko. Selama ini, banyak fasilitas pelayanan kesehatan tidak mampu menjalankan sistem pengelolaan limbah medis secara optimal karena terkendala alokasi dana. Oleh karena itu, Al Muhajirin mengusulkan skema anggaran yang disesuaikan dengan tingkat risiko lingkungan dan prioritas kesehatan, serta mendorong kerja sama lintas sektor antara pemerintah daerah, rumah sakit, dan pihak swasta dalam pembiayaannya.
“Efisiensi dan efektivitas penganggaran harus diarahkan untuk mendukung pengelolaan limbah yang berkelanjutan,” katanya. “Kesehatan masyarakat dan keselamatan lingkungan tidak boleh dikorbankan karena kendala dana.”
Di sisi infrastruktur, ia menyoroti perlunya penyediaan sarana prasarana yang ramah lingkungan dan sesuai standar. Desain TPS, alat pemilah limbah, dan kapasitas instalasi pengolahan air limbah (IPAL) menjadi aspek krusial yang harus diperbaiki. Ia juga menekankan pentingnya penyediaan media edukasi dan penanda visual yang jelas di setiap titik penghasil limbah untuk mendukung kepatuhan staf terhadap prosedur yang berlaku.
Seluruh temuan ini dirangkum dalam model pengelolaan limbah medis berbasis Green Health yang bersifat holistik, mencakup aspek regulatif, kelembagaan, teknologi, sosial, serta ekologi. Model ini bukan hanya bertujuan untuk menangani limbah secara aman, tetapi juga mendorong terbentuknya budaya kelembagaan yang berpihak pada keselamatan pasien, perlindungan tenaga kesehatan, dan keberlanjutan lingkungan.
“Green Health harus dipandang sebagai kerangka kerja integratif, bukan sekadar teknis,” ungkap Muhajirin dalam Ujian Terbuka. “Pendekatan ini menuntut kolaborasi lintas sektor, transformasi kebijakan, dan komitmen berkelanjutan untuk menjadikan sistem kesehatan kita lebih adil, tangguh, dan ekologis.”
Disertasi ini menjadi temuan yang diharapkan dapat diadopsi oleh berbagai fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia sebagai bagian dari upaya membangun sistem kesehatan nasional yang berkelanjutan.