Sistem pangan laut Indonesia menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim, praktik perikanan ilegal, dan ketidakadilan pasar. Dalam Festival Bahari Jawa Tengah 2024 yang berlangsung di Kampus 2 Soegijapranata Catholic University (SCU) BSB pada 10-11 Desember 2024, isu ini menjadi sorotan utama. Acara yang diselenggarakan Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) SCU bersama KIARA melalui FOCUS Project ini mengangkat tema “Kedaulatan Pangan Laut: Solusi Perubahan Iklim dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan.”
Tantangan dan Peluang
Dalam talkshow bertajuk “Bagaimana Sistem Pangan Laut Kita untuk Mencapai Kedaulatan Pangan,” Erwin Suryana dari KIARA menyoroti 4 tantangan utama: perebutan sumber daya laut, perikanan ilegal, kerusakan ekosistem akibat perubahan iklim, dan ketidakadilan pasar yang mendominasi. “Nelayan kecil sering kali hanya menjadi objek, bukan aktor utama dalam tata kelola pangan,” ungkapnya. Namun, ia menegaskan bahwa komunitas berbasis lokal, termasuk perempuan nelayan, memiliki potensi besar untuk mengubah sistem yang timpang.
Sementara itu, Guru Besar Ekologi dan Ketahanan Pangan SCU Prof. Budi Widianarko menggarisbawahi pentingnya peran kerang dalam menjaga ekosistem laut. Penelitiannya menunjukkan bahwa kerang hijau mampu menyaring hingga 60 liter air per hari, memberikan dampak signifikan terhadap kualitas perairan. Namun, pencemaran laut dan proyek infrastruktur seperti pembangunan tanggul laut di Demak mengancam habitat kerang, yang pada akhirnya mengurangi hasil budidaya pesisir.
Peran Perempuan dan Inovasi Lokal
Tri Ismuyati, seorang perempuan nelayan dari Jepara, berbagi pengalaman menghadapi tantangan seperti penambangan pasir yang merusak mata pencaharian. “Ketika laut dirusak, kami membangun koperasi pengolahan hasil laut untuk bertahan,” ujarnya. Perempuan nelayan kini menjadi penjaga ketahanan pangan laut, menciptakan produk berbasis hasil laut seperti abon ikan dan keripik rumput laut.
Miranda dari Konsorsium FOCUS menawarkan solusi melalui konsep blue food—pangan akuatik rendah karbon yang kaya nutrisi. Ia menekankan pentingnya transformasi sistem pangan yang melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah dan akademisi, untuk menciptakan tata kelola yang adil dan berkelanjutan.
Suara dari Pesisir
Festival ini juga menampilkan bazar produk olahan hasil laut dari berbagai desa pesisir, seperti abon ikan dari Kendal dan terasi Jepara, yang menunjukkan kreativitas masyarakat pesisir dalam menghadapi perubahan iklim.
Arah ke depan
Dalam sesi diskusi, peserta menyerukan reformasi pasar lokal untuk mendukung nelayan kecil. “Sistem pangan laut membutuhkan keadilan di tingkat produksi dan distribusi,” pungkas Erwin.
Melalui kolaborasi, inovasi, dan pemberdayaan komunitas, Festival Bahari Jawa Tengah 2024 menjadi langkah nyata menuju kedaulatan pangan laut dan keberlanjutan ekosistem pesisir. Festival ini tidak hanya menjadi wadah diskusi, tetapi juga langkah konkret untuk meningkatkan kesadaran dan solidaritas terhadap krisis pangan laut yang dihadapi Indonesia.