Berangkat dari keresahan terhadap kasus konflik Etnis Rohingya di Myanmar, Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Soegijapranata Catholic University (SCU) bersama Asia Justice and Rights (AJAR) menyelenggarakan Seminar “Krisis Myanmar: Menggugat Prinsip Non-Intervensi ASEAN.” Berlangsung di Mini Theater Albertus, Kampus 1 SCU Bendan pada 29 November 2024, forum tersebut mengundang antusiasme banyak perguruan tinggi. Beberapa di antaranya seperti UNDIP, UNNES, UNPAR, UKSW, dan UAJY.
Diskusi ini menghadirkan Dosen FHK SCU Dr. Yustina Trihoni Nalesti Dewi dan Adrianus Bintang Hanto Nugroho, MA, serta Staff Program Regional AJAR Amalia Suri.
Pelanggaran HAM yang terjadi terhadap etnis Rohingya yang belum menemukan titik terang menurut Dosen FHK SCU P. Danardono, MH tidak terlepas dari prinsip non-intervensi ASEAN. “Prinsip non-intervensi ASEAN malah menyusahkan penyelesaian konflik. Perlu kita persoalkan lagi untuk memperjelas mana batasan yang perlu diintervensi dan mana yang tidak,” tegasnya.
Sependapat, Dr. Yustina memandang prinsip non-intervensi yang bertujuan menjaga kedaulatan negara ASEAN terkesan terlalu kaku. Menurutnya, prinsip non-intervensi tidak lagi relevan jika menyangkut persoalan HAM dan lingkungan.
“Salah satu tujuan dibentuknya ASEAN adalah menjaga masyarakat di lingkungan tersebut damai, demokratis, adil, dan harmonis. Masalah prinsip ini jadi terkesan diprioritaskan, kenapa harus ragu? Padahal sudah jelas tidak relevan dengan tujuan ASEAN,” tegasnya.
Sebaliknya, beliau mendukung jika pendekatan dilakukan dengan Responsibility to Protect (R2P). Hal ini dinilainya jauh lebih relevan mengingat pelanggaran HAM berat ini telah menjadi perhatian global.
“Kedaulatan tentang negara semakin berkembang sampai pada titik untuk mengintervensi negara lain. Gagasannya pun diterima di hukum internasional sebagai respon dari dampak kekerasan HAM dan lingkungan. Harus dilakukan lebih dari 1 negara, sehingga kolektif,” pungkasnya.
Sejalan dengan itu, Amalia menilai adanya prinsip non-intervensi terkesan menjadi “tameng” untuk tidak bertanggung jawab pada permasalahan masing-masing negara. Padahal, dampak konflik selalu melebar ke negara-negara tetangga. “Sudah 3 tahun ini ASEAN belum memberikan langkah konkret, padahal seharusnya itu jadi urusan bersama,” katanya.
Menurut keterangannya, ASEAN telah mencoba mengatasi krisis Myanmar melalui 5-Point Consensus yang mencakup penghentian kekerasan dan dialog konstruktif. Namun, junta militer Myanmar melanggar konsensus tersebut pasca 2 hari diberlakukan.
Wakil Dekan FHK SCU Dr. Y. Budi Sarwo juga menekankan pentingnya intervensi dilakukan ASEAN terhadap krisis kemanusiaan yang pecah di Myanmar. Hal ini diperlukan mengingat pengungsi Rohingya sudah mulai memadati negara tetangga. “Menjaga kedaulatan negara tidak boleh diartikan kita mengesampingkan perlindungan HAM karena Rohingya punya hak atas perlindungan itu,” tutupnya dalam sambutan.