Oleh: Angelina Ika Rahutami, Ekonom Unika Soegijapranata
DUA minggu ini terlihat jelas ekonomi melesu dengan cepat. Secara kasat mata, sektor yang terkait dengan perdagangan, pariwisata, leisure serta sektor non-formal seperti Ojol paling terpukul.
Sektor lain yang terpukul adalah Industri manufaktur. Layaknya petinju, pandemi ini memiliki dua jenis pukulan, jarak dekat dan jarak jauh.
COVID-19 melakukan jab dan hook yang langsung dirasakan memarnya oleh para pedagang, pemilik kafe dan hotel, serta karyawan yang mendapatkan upah harian.
Sedangkan uppercutnya, bila tidak ditangkis dengan baik akan menyebabkan sektor industri manufaktur luluh lantah secara perlahan.
Mengapa bisa begitu? Industri di Indonesia memiliki ketergantungan tinggi pada bahan baku impor.
Menurut data BPS, Neraca Perdagangan Indonesia mencatat bahwa tahun 2020, proporsi impor bahan baku terhadap total impor adalah sekitar 75 persen, dan 26,76 persen berasal dari China.
Yang menjadi masalah adalah, sejak menyebarnya pandemic COVID-19, mata uang rupiah melemah.
Saat ini nilai USD mencapai sekitar Rp 16.000, sedangkan nilai RMB sebesar Rp 2.056. Depresiasi ini menaikkan biaya produksi industri. Di sisi lain, pelemahan rupiah tidak dapat mendorong ekspor karena menurunnya ekonomi negara tujuan ekspor.
Tekanan di industri bertambah karena harus membayar utilitas, sewa, pajak, utang dan bunga pinjaman. Kondisi saat ini dan ekspektasi ke depan tentang pelemahan ekonomi global pasti akan direaksi oleh industri dalam bentuk efisiensi.
Efisiensi yang paling gampang dilakukan adalah pengurangan jumlah tenaga kerja atau PHK.
Memerhatikan kemungkinan ini, Jawa Tengah perlu menyiapkan langkah antisipasi. Berdasarkan data BPS, industri Jawa Tengah memiliki pangsa terbesar dalam pembentukan PDRB. Tahun 2019, sekitar 34,92% PDRB Jawa Tengah berasal dari sektor industri.
Terdapat tiga industri yang dominan di Jawa Tengah yaitu industri makanan dan minuman (memiliki pangsa sebesar 37,39% dalam membentuk PDRB sektor industri), dan diikuti oleh industri pengolahan tembakau (22,15%), serta tekstil dan pakaian jadi (8,5%). Di antara tiga industri ini, industri tekstil yang memiliki konten impor paling besar.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri tekstil menyerap tenaga kerja paling banyak yaitu sekitar 250 ribu orang, dengan sekitar 700 perusaahan. Industri pengolahan tembakau menyerap tenaga kerja kurang lebih sebesar 103 ribu orang, sedangkan industri makanan dan minuman menyerap sekitar 99 ribu orang.
Mau tidak mau, Jawa Tengah harus waspada. Apabila sektor industri manufaktur terpukul dan melakukan PHK, maka bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah akan turun tajam dan juga memunculkan masalah sosial termasuk naiknya kemiskinan.
Saat ini pemerintah pusat telah mengambil langkah memberikan stimulus fiskal bagi industri. Relaksasi PPh 22 impor bagi 19 sektor industri manukfaktur merupakan salah satu cara untuk mengamankan industri manufaktur. Stimulus fiskal lain berupa relaksasi PPh 21 dan 25, serta pembebasan PPN dimaksudkan untuk menjamin likuiditas pekerja selama masa sulit ini. Stimulus fiskal tersebut tidak akan cukup.
Langkah jangka pendek dan menengah yang patut dipertimbangkan adalah semangat “gotong royong” dan penguatan jejaring pasar antar daerah. Semangat “gotong royong” menunjukkan adanya kesadaran kolektif baik pemerintah, pengusaha atau industri maupun masyarakat untuk nyengkuyung bareng.
Dalam jangka pendek, semangat “gotong royong” yang bisa dilakukan oleh pengusaha adalah dengan mengijinkan buruh dan karyawan industri untuk melakukan pembatasan sosial, tidak terburu-buru melakukan PHK, dan melakukan CSR bersama.
CSR bersama dilakukan untuk menolong lebih banyak orang miskin dan rentan, serta mendukung pemerintah dengan memastikan kesiapan sisi penawaran. Tentu saja hal ini tidak mudah, karena pasti akan mengurangi keuntungan. Namun, dalam kondisi yang tidak biasa, kita perlu bertindak di luar kebiasaan dan pola yang ada.
Berikutnya adalah penguatan jejaring pasar antar daerah. Dampak COVID-19 terhadap ekonomi masih akan cukup panjang. Maka ketika mendorong perdagangan internasional membutuh upaya yang besar, kenapa kita tidak menengok pasar domestik?
Penguatan jejaring pasar antar daerah akan mendorong kenaikan perdagangan domestik tanpa dirisaukan dengan fluktuasi nilai rupiah.
Pemerintah Jawa Tengah dapat memanfaatkan kekuatan 6 wilayah pembangunan yang telah ada dalam penguatan jejaring pemasaran dan industri. Kabupaten kota tidak dapat berdiri sendiri, mereka harus bekerja sama agar industri mampu menyediakan apa yang dibutuhkan oleh Jawa Tengah dan wilayah tersebut, serta menata pegerakan barang antar daerah menjadi lebih besar.
Pemerintah Jawa Tengah dapat memfasilitasi penguatan jejaring pasar antar daerah ini melalui Musrenbangwil perubahan dan realokasi anggaran pemerintah. Pandemi COVID-19 memang menggerus hampir semua sendi ekonomi, namun saat ini adalah saat yang menentukan, bagi industri dan pemerintah Jawa Tengah.
Apakah sektor industri Jawa Tengah akan mampu bertahan dan membuktikan kelenturannya sehingga tidak terpuruk? Dan apakah pemerintah Jawa Tengah akan mampu menjadi fasilitator untuk mendongkrak kembali sektor industri? Jawabannya ada pada semangat “gotong royong”, disengkuyung bebarengan.