Logo Soegijapranata Catholic University (SCU) White
Search...
Close this search box.

Mengaktifkan Mode Darurat

Fenomena cuaca ekstrem saat ini menjadi momentum yang tepat untuk memperbaiki manajemen informasi kesehatan terkait bencana. Ini penting untuk meningkatkan adaptasi arsitektur kesehatan terhadap perubahan iklim.

Oleh: Perigrinus H Sebong, Dosen FK Unika Soegijapranata; Peneliti Kesehatan Global
Ilustrasi

Pemberitaan Kompas.id (9/10/2022) berjudul ”Banjir dari Aceh, Jakarta, hingga Kalimantan Barat” seakan membuat kita sulit menghapus banjir dalam daftar bencana rutin. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi banjir, mengurangi risiko penyakit, dan melakukan pertolongan darurat, masih ada korban yang berjatuhan. Lantas ada apa dengan respons banjir kita?

Musibah banjir tidak bisa terpisahkan dari fenomena cuaca ekstrem akibat perubahan iklim yang melanda Indonesia. Tidak hanya memakan korban, perubahan iklim secara signifikan telah menambah beban disparitas status kesehatan yang sudah lama ada. Misalnya, selama 2021, siklon tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga meninggalkan bencana kekurangan pangan bagi masyarakat yang terdampak (Kompas, 2021).

Sebagai negara langganan banjir, Indonesia telah mengadopsi Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030. Kerangka ini menjadi acuan urusan manajemen bencana dengan meletakkan kesehatan sebagai salah satu aspek pentingnya. Akan tetapi, selain terganjal implementasi akibat desentralisasi di daerah, saat ini informasi epidemi masih terbatas dampak langsung, seperti cedera, ruam kulit, wabah gastroenteritis, infeksi saluran pernapasan, dan keracunan.

Padahal, banjir dengan durasi yang lama menimbulkan masalah kesehatan yang lebih serius, terutama bagi para warga lansia dan penyandang disabilitas yang terdampak. Persediaan makanan yang terbatas, sumber air yang tidak higienis, sanitasi yang buruk, dan putusnya akses terhadap pelayanan kesehatan menyebabkan penularan penyakit selama dan setelah banjir kian meningkat, bahkan berujung pada kematian.

Di sisi lain, Indonesia termasuk anggota World Health Organization South-East Asia Regional Office (WHO SEARO) peringkat ketiga teratas sebagai negara yang sensitif terhadap fenomena cuaca akibat perubahan iklim, terutama banjir. Intensitas kejadian epidemi dan atau wabah penyakit diperkirakan terus terjadi seiring perubahan iklim.

Melansir dari Lancet (2022), dengan populasi hampir 26 persen dari penduduk dunia, wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia ikut menyumbang 2,4 juta kematian akibat banjir dan bencana alam. Bahkan apabila tanpa adaptasi yang efektif, penduduk Indonesia yang terkepung banjir semakin bertambah menjadi 1,4 juta pada tahun 2035 (World Bank, 2021). Ini termasuk juga risiko banjir di wilayah pesisir yang meningkat sekitar 19–37 persen pada tahun 2030 (Muis dkk, 2015).

Warga mengungsi di atas jembatan di kelurahan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (25/2/2020). Banjir akibat curah hujan yang tinggi ini tidak hanya merendam kawasan pemukiman namun juga memutus akses jalan di sejumlah wilayah di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)

Warga mengungsi di atas jembatan di kelurahan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (25/2/2020). Banjir akibat curah hujan yang tinggi ini tidak hanya merendam kawasan pemukiman namun juga memutus akses jalan di sejumlah wilayah di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang.

 

Pekerjaan rumah

Saat ini berbagai laporan studi dampak banjir terhadap kesehatan di Indonesia sudah banyak diketahui. Namun, menurut penulis ada perbedaan atau variasi terutama terkait ukuran dampak kesehatan akibat banjir. Misalnya prevalensi post-traumatic stress disorder (PTSD) pascabanjir di Indonesia bervariasi dari 3,6 persen hingga 52 persen, dengan kejadian berulang atau re-experiencing sekitar 98 persen (Nasri dkk, 2020). Kemudian, jumlah kematian akibat banjir pun bervariasi. Dari sekitar 278 bencana banjir yang terjadi, ada sekitar 41,6 kematian per satu juta penduduk terjadi di Indonesia (Oktari dkk, 2022).

Variasi ukuran dampak tersebut merupakan cerminan dari beberapa heterogenitas yang terjadi selama dan sesudah bencana banjir. Hemat penulis, ada beberapa penyebab utama. Pertama, heterogenitas dipengaruhi banjir itu sendiri seperti kecepatan dan skala genangan, durasi banjir, serta bahaya yang menyertainya, misalnya kontaminasi bahan kimia beracun dan kebocoran limbah.

Di sini, kapasitas daerah merespon sangatlah krusial. Daerah yang lebih maju seperti Jakarta tentu akan lebih mampu mengelola banjir dengan flood control system-nya yang diklaim akurat dan terukur (Kompas, 2022). Tetapi hal ini tentu tidak untuk daerah lain yang tidak punya kapasitas dan sumberdaya yang sepadan dengan Jakarta.

Kedua, heterogenitas penduduk yang terdampak dalam hal kemampuan mereka untuk merespons atau beradaptasi dengan situasi banjir. Ini termasuk juga bantuan kesehatan yang mereka terima selama situasi darurat dan pemulihan kesehatan pascabanjir.

Daerah dengan sistem kesehatan yang lebih siap tentu lebih sigap meredam epidemi penyakit akibat banjir dan potensi masalah kesehatan lain agar tidak terjadi. Sebaliknya daerah dengan sistem kesehatan yang lemah tentu terkepung dan tidak bisa berbuat banyak.

Penyebab heterogenitas yang terakhir adalah terdapat gap informasi dalam sistem surveilans kesehatan masyarakat. Sebagian besar pencatatan dan pelaporan hanya menilai atau membatasi informasi dampak kesehatan pada titik tertentu pascabencana banjir. Padahal, meskipun sistem surveilans pascabencana dirancang untuk secara cepat mendeteksi penyakit rawan epidemi, interpretasi informasi ini dapat terhambat oleh tidak adanya data surveilans dasar sebelum bencana banjir dan data jumlah penduduk terdampak yang tidak akurat.

Misalnya, kerusakan infrastruktur surveilans kesehatan masyarakat menyebabkan hilangnya data sehingga sulit membedakan epidemi penyakit yang terjadi, apakah karena banjir atau penyebab lainnya (bukan banjir). Fenomena perpindahan pengungsi juga bisa menyebabkan petugas surveilans kesulitan mendata penduduk target yang terdampak banjir.

Di lapangan, faktor-faktor tersebut dapat mengubah keakuratan informasi sehingga penghitungan untuk perbandingan beban penyakit menjadi sulit. Belum lagi perawatan kesehatan selama situasi darurat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan baik nasional dan internasional, sehingga data sering tumpang tindih bahkan tidak lengkap akibat koordinasi yang tidak beres.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/mTN-wrIjazeqEob3mJiOS-BAOp4=/1024x1742/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F11%2F19%2F20201119-H01-ARS-Bencana-Hidrometeorologi-mumed_1605804086_png.png

Momentum perbaikan

Ini semua, pada akhirnya menuntut kita untuk memperbaiki manajemen informasi kesehatan terkait bencana. Mengapa? Karena kemampuan manajemen informasi harus diperkuat untuk meningkatkan adaptasi arsitektur kesehatan terhadap perubahan iklim. Terobosan ini penting sebagai upaya memperkaya penilaian risiko atau kebutuhan, surveilans penyakit dan sistem peringatan dini epidemi, komunikasi risiko, dan strategi penanganan krisis kesehatan baik nasional maupun daerah.

Namun, tantangannya pengumpulan, analisis, dan penyebaran informasi melalui mekanisme surveilans harus diselaraskan di semua sektor terkait. Perlu ada mekanisme manajemen pengetahuan atau knowledge management yang diterapkan untuk memastikan bahwa informasi yang tepat mencapai orang yang tepat pada waktu yang tepat.

Oleh karena itu, fenomena cuaca ekstrem saat ini menjadi momentum yang tepat untuk membenahi sistem surveilans bencana termasuk dampak kesehatannya. Penyesuaian indikator surveilans ada baiknya memadukan karakter spesifik banjir seperti genangan, durasi, atau angin kencang yang menyertainya dengan konteks lokal lainnya seperti patogen endemik tropis di daerah langganan banjir. Ditambah kemungkinan limpasan lahan pertanian dan lumpur yang menyebabkan infeksi zoonosis.

Penduduk yang mengungsi saat terjadi banjir juga perlu perhatian serius untuk mencegah migrasi penyakit ke daerah lain. Sehingga, butuh indikator-indikator spesifik wilayah dalam surveilans kesehatan masyarakat dalam menjawab kesenjangan informasi karakterisasi hubungan potensial sekaligus proyeksi kemungkinan wabah penyakit di masa mendatang. Dengan demikian, memahami potensi kekuatan, arah dan waktu yang tepat dari hubungan sebab menjadi sangat penting untuk kesiap-siagaan pencegahan penyakit dalam konteks perubahan iklim.

Perigrinus H Sebong

Perigrinus H Sebong

Tag

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp
Kategori
Selamat Memperingati Hari Kenaikan Yesus Kristus 

#KenaikanYesusKristus
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning
Segenap Sivitas Akademika Soegijapranata Catholic University (SCU), turut berduka cita atas meninggalnya Ir. Daniel Hartanto, S.T., M.T (Dosen Program Studi Teknik Sipil)

#RIP
Selamat Hari jadi ke-477 Kota Semarang ✨

#HUTSemarang
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning
Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional ✨

#HariPendidikanNasional
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning
Selamat Hari Buruh 2024

#HariBuruh
Stop Galau! Masih ada Beasiswa Masuk di SCU, buruan! Gak pake tes cuma pakai nilai rapor ajah 😁

Daftar online
pmb.unika.ac.id

#BeasiswaKuliah
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning

Share:

More Posts

Send Us A Message