Logo Soegijapranata Catholic University (SCU) White
Search...
Close this search box.

Pasang Surut Gelombang Corona, Endemikah?

Oleh: Perigrinus H Sebong, Dosen FK Unika Soe gijapranata

ISTLLAH endemi pertama kali digunakan oleh Hippocrates sekitar 2500-an tahun yang lalu. Awal mulanya Hippocrates memakai istilah nosos (penyakit), phtoros (kerusakan, ketidanyamanan), dan loimos (wabah menular) untuk menggambarkan situasi penyakit kala itu. Istilah ini kemudian mulai banyak digunakan di era mikrobiologi sekitar abad 19 dan terus berkembang hingga sekarang.

Sesuai prinsipnya, istilah “endemi” bisa digunakan dalam dua situasi. Pertama, endemi digunakan untuk meng-gambarkan karakteristik suatu daerah dalam kaitannya dengan kejadian suatu penyakit (daerah endemi) dan kedua, menggambarkan suatu penyakit dalam kaitannya dengan suatu daerah dan kelompok masyarakat (penyakit endemi). Lalu bagaimana dengan Covid-19? Apakah akan menjadi penyakit endemi?

Secara teknis para ahli menilai suatu penyakit sebagai endemi dengan memperhatikan keseimbangan nilai ekuilibrium endeminya. Selain itu, ketika endemi biasanya dampak infeksi virus atau penyebab penyakit yang lain di masyarakat menjadi lebih dapat diprediksi dan stabil. Namun, untuk melabel infeksi virus corona menjadi endemi, perlu kehati-hatian.

Belajar dari pengalaman sejauh ini, dampak corona yang begitu luas menjadikan persoalan pandemi tidak hanya masalah kesehatan tetapi juga turut menyeret isu sosial, politik dan isu lainnya. Hal ini bisa kita amati dari informasi yang beredar, seperti ada dua poros informasi. Poros pertama adalah para ilmuwan yang selalu meminta kita untuk tidak tergesa-gesa mengklaim corona sudah menjadi endemi. Sedangkan poros kedua, adalah pemimpin atau pejabat publik yang mungkin dengan maksud untuk “mengademkan” mengklaim tentang endemi.

Sedikit benchmark, beberapa negara di Eropa dengan cakupan vaksinasi tinggi sudah mulai mengendorkan pembatasan sosial dan mulai memberlakukan COVID-19 sebagai penyakit endemi., Namun, mereka masih mewajibkan sertifikat vaksin dan penggunaan masker di negaranya. Contoh sederhana ini sebenarnya bisa kita ambil maknanya bahwa belum ada ukuran yang pasti untuk memastikan corona menjadi endemi. Jeda lama lonjakan kasus COVID-19 dari varian Delta ke Omicron tanpa kita sadari telah “menjebak” kita dalam pusaran pandemi. Kita cenderung gegabah menyimpulkan penurunan kasus sebagai alaram pandemi akan (segera) menjadi endemi.

Apa yang terjadi?
Pertanyaan reflektif bagi kita adalah apakah COVID-19 akan menjadi endemi? Ataukah ini hanya pertanda kita sudah bisa menerima COVID-19 bersama kita? dan apakah endemi COVID-19 sama dengan penyakit endemi lainnya? Untuk menjawabnya maka mari menyimak analisis berikut.

Pertama, konsep endemi biasa digunakan untuk menilai virus dan penyebab penyakit lainnya yang selalu ada di suatu wilayah. Dalam kasus COVID-19, dari apa yang kita ketahui selama ini ada kemungkinan kasusnya akan meningkat atau akan menurun pada suatu waktu tertentu (pasang surut). Namun kabar baiknya, peningkatan jumlah kasus ini sebagian besar dapat diprediksi dan sistem kesehatan kita bisa meresponnya dengan baik.

Hal ini berarti, corona itu ini masih ada tetapi pada tingkat yang tidak menyebabkan terganggunya atau ancaman terhadap nyawa dan rutinitas. Selain itu, jika kita bandingkan dengan penyakit lain misalnya flu yang tergolong endemi, maka kita dapat memberi pilihan terhadap tingkat endemisitas corona tinggi atau rendahnya lewat perilaku kita.

Kedua, istilah endemi maril kita pahami dari perpektif yang lebih realistis. Perspektif realists menggunakan endemi untuk menggambarkan dimana kita berada sekarang. Sadar atau tidak yang sebenarnya terjadi saat ini adalah kita baru belajar untuk hidup dengan virus corona. Perjalanan dari pandemi menjadi endemi yang sebenarnya terjadi adalah transisi kehidupan sosial kita.

Masyarakat kita mulai menunjukkan ada peningkatan kemauan untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan hidup bersih dan sehat untuk mencegah COVID-19, dan mulai mandiri mengenali resiko apa yang bisa membuat mereka rentan dari corona. Menurut penulis di sini jelas bahwa istilah endemi tidak hanya terbatas pada perspektif epidemiologi atau penyakit tetapi juga bisa dipahami dari perspektif sosial. Lalu bagaimana dengan perspektif epiderniologinya?

Pasang Surut
Dalam konteks COVID-19, perjalanan dari pandemi ke endemi menurut penulis tidak mudah untuk didefinisikan. Istilah endemi, yang diciptakan oleh Hippocrates, tidak memiliki definisi yang ketat. Namun, dalam epidemiologi, label endemi diberikan untuk keadaan infeksi yang bisa dikendalikan, tanpa lonjakan atau penurunan kasus infeksi.

Dalam catatan sejarah, penyakit Cacar (smallpox) yang semulanya pernah menyebabkan pandemi dan sekarang telah berhasil dieradikasi (dimusnahkan) berkat kolaborasi internasional yang berkelanjutan, butuh 181 tahun menuju eradikasi (1977) sejak Vaksin pertama kali ditemukan pada tahun 1796. Contoh penyakit endemi lainnya adalah AIDS, TB dan Malaria yang sampai sekarang menjadi perhatian serius Global Fund to Fight AIDS, TB, Malaria (GF ATM).

Meskipun sudah menghabiskan miliaran dolar tetapi 3 penyakit ini memiliki resiko kematian yang jauh lebih besar dan sulit dikendalikan. Tidak hanya kematian, penderita penyakit endemi ini juga mengalami konsekuensi non-medis lanjutan seperti stigma, misalnya yang sering dialami ODHA, kehilangan pekerjaan dan bahkan meningkatkan pengeluaran untuk biaya perawatan.

Konsekuensi lanjutan
Beban penyakit endemi juga dialami Indonesia. Sebagai contoh, saking banyaknya pasien TB yang tidak patuh minum obat menyebabkan Indonesia memiliki beban TB resisten obat (Multidrug-Resistant) cukup tinggi (success rate of tretament hanya 48%). Beban penyakit endemi yang sudah ada, bisa kita bandingkan dengan COVID-19.

Kejadian long COVID misalnya, yang menyebabkan menurunkan produktivitas seseorang bisa kita anggap sebagai konsekuensi lanjutan. Meskipun belum tersedia informasi tentang potensi beban penyakit yang akan terjadi apabila corona menjadi endemi, tetapi pada tahap ini istilah endemi memiliki perspektif sosial. Walaupun penyakit sudah bisa dikontrol tetapi akibat dan dampak sosialnya tentu tidak bisa dilupakan begitu saja.

Pasang surut gelombang corona, sebenarnya menyadarkan kita untuk mulai mengalihkan fokus respon kita ke pencegahan dan penanganan lonjakan penularan. Meskipun pembatasan sosial kita sudah mulai dilonggarkan, tetapi pengawasan berkelanjutan terhadap corona dan tindakan pencegahan tetap digencarkan. Segala yang telah kita capai selama ini dalam jalur menuju endemi, harus kita perkuat melalui resiliensi sistem kesehatan kita.

Kita patut menyambut baik dan mensukseskan kebijakan pemerintah melakukan transformasi sistem kesehatan. Melalui transformasi, kita berharap punya infrastruktur kesehatan yang lebih siap ke depannya. Sehingga, kita tidak perlu lagi merespon pasang surut gelombang corona dan “kroni-kroninya” sebagai suatu keadaan darurat tanpa kepastian, melainkan sebagai bagian dari respons yang normal. Sekarang kita mungkin berhadapan dengan virus corona yang akan menjadi endemi, tetapi kita masih punya kendali untuk menekan dampak (kesehatan dan sosial) endeminya! Salam sehat. (*)

# Tribun Jateng 30 Maret 2022 hal. 2

Tag

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp
Kategori
Selamat Memperingati Hari Kenaikan Yesus Kristus 

#KenaikanYesusKristus
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning
Segenap Sivitas Akademika Soegijapranata Catholic University (SCU), turut berduka cita atas meninggalnya Ir. Daniel Hartanto, S.T., M.T (Dosen Program Studi Teknik Sipil)

#RIP
Selamat Hari jadi ke-477 Kota Semarang ✨

#HUTSemarang
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning
Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional ✨

#HariPendidikanNasional
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning
Selamat Hari Buruh 2024

#HariBuruh
Stop Galau! Masih ada Beasiswa Masuk di SCU, buruan! Gak pake tes cuma pakai nilai rapor ajah 😁

Daftar online
pmb.unika.ac.id

#BeasiswaKuliah
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning

Share:

More Posts

Send Us A Message