Logo Soegijapranata Catholic University (SCU) White
Search...
Close this search box.

Pekarangan, Eskapisme Ekologis

Oleh: Budi Widianarko, Pengajar Ekologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Unika Soegijapranata

Ketidakpastian tentang kapan usainya pandemi Covid-19 “berhasil” memaksa warga menemukan wahana pelarian diri dari kebosanan. Seperti terekam oleh berbagai media, bersepeda telah secara sangat kasat mata mewujud sebagai sebuah eskapisme. Sebenarnya masih ada wujud eskapisme lain yang lahir di masa pandemi ini yaitu berkebun di pekarangan.

Kegairahan untuk kembali ke pekarangan memang tidak segegap-gempita “demam” bersepeda. Karena sifatnya yang pribadi dan berlangsung di lingkungan rumah sendiri maka beraktivitas di pekarangan kurang mencuri perhatian. Namun, jika kita cermati jumlah pengunjung ke pusat-pusat penjualan bibit tanaman dan sarana pertanian meningkat pesat di masa pandemi ini. Ini menunjukkan geliat dalam kegiatan tanam-menanam.

Disadari atau tidak, pekarangan adalah wahana pelarian diri yang istimewa karena hakikat ekologisnya. Pekarangan bukanlah sekedar sepetak lahan yang ditanami tetumbuhan. Dalam evolusinya, pekarangan adalah representasi ekosistem hutan yang sengaja dihadirkan di dekat rumah sebagai pengingat ketergantungan manusia pada alam. Lebih istimewa lagi, sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa – seperti umumnya taman atau kebun – pekarangan dapat menjadi wahana penyembuhan kesehatan badan dan jiwa melalui pengalaman ekologis (ecotherapy).

Ekologis

Terima kasih kepada mendiang Profesor Otto Soemarwoto dari Lembaga Ekologi, Universitas Padjadjaran yang berhasil memperkenalkan pekarangan sebagai entitas dan konsep yang khas kepada khalayak ilmiah mundial. Pekarangan bukanlah sekedar home garden (taman rumah) dalam pengertian umum. Saking khasnya terminologi “pekarangan” tidak punya padan kata dalam khasanah pustaka internasional. Kumar dan Nair (2004) mengungkapkan di jurnal Agroforestry Systems bahwa sejumlah upaya untuk mendefinisikan pekarangan sebagai home garden gagal, karena sulit untuk mencakup kekhasannya, yaitu intimate, multi-story combinations of various trees and crops, sometimes in association with domestic animals, around homesteads”.

Charles H. Wharton dalam bukunya “Ten Thousand Years From Eden” (2001) menyebut bahwa sejumlah budaya di dunia punya kemiripan dalam merancang taman di sekitar rumah, yaitu meniru tatanan hutan. Pekarangan di Pulau Jawa adalah salah satunya. Ia menghadirkan taman berlapis menurut tinggi tanaman.

Menurut Wharton, di lapisan tertinggi pepohonan seperti nangka dan kayumanis ditanam di pekarangan untuk mewakili puncak tajuk (canopy) hutan. Di lapisan tengah, diisi oleh tanaman yang tumbuh cepat seperti pisang dan papaya. Lapisan bawah ditanami jagung, kacang tanah, ketela pohon dan empon-empon, plus tanaman yang merambat seperti lada dan vanili.

Singkatnya, pekarangan adalah home garden plus, yang dirancang khusus sebagai tiruan sebuah ekosistem hutan. Rancangan ini juga memiliki fungsi tata-air, iklim, genetik dan konservasi tanah yang menyerupai hutan. Pekarangan adalah suatu rancangan agroekosistem kuno yang sudah tercatat sejak tahun 840 Masehi. Dalam wujud aslinya, di pedesaan pekarangan adalah sebuah ekosistem buatan yang stabil dan mampu menghasilkan pangan, pakan ternak, bahan bakar dan obat-obatan bagi rumah tangga. Selain itu, pekarangan juga berfungsi sebagai “bank” plasma nutfah.

Seiring berjalannya waktu, keberadaan pekarangan bukan hanya terbatas di pedesaan. Sejauh memungkinkan, warga perkotaanpun memanfaatkan lahan ekstra sebagai pekarangan. Meski terkikis di sana-sini, wajah kota-kota kita masih dihiasi oleh pekarangan.  Tidaklah terlalu sulit untuk menemukan pohon kelapa, mangga, rambutan, nangka dan bahkan durian di halaman rumah perkotaan. Dan pohon-pohon itu hidup berdampingan dengan tetumbuhan lain, perdu dan semak. Sampai tingkat tertentu, pekarangan di perkotaan – meski terbatas – masih menjadi penyumbang ketahanan pangan rumah tangga. Memanen buah dan sayur – seperti mangga, bayam, kemangi, tomat dan cabe – dari pekarangan bukan hal aneh di kota paling metropolis sekalipun. Bahkan tidak jarang, warga yang bertetangga saling berbagi hasil panen pekarangan sebagai wujud keeratan sosial.

Menyembuhkan

Perjumpaan dengan ekosistem alam, seperti sungai, danau, laut dan hutan selalu memberi kita hadiah berupa kejernihan pikiran, kebugaran badan dan ketenangan jiwa (mind-body-spirit). Meskipun tidak selalu disadari, ketiga manfaat itulah yang mendorong orang menggemari wisata alam. Belakangan, bahkan telah berkembang apa yang disebut sebagai terapi ekologis (ecotherapy). Dalam ecotherapy kesehatan tubuh dan jiwa manusia dilihat dari sudut pandang keselarasan dengan kesehatan ekosistem alam. Ecotherapy menyambungkan kembali hubungan manusia dengan alam demi membantu pemulihan kesehatan tubuh dan jiwa. Penyambungan kembali ini sekaligus mengingatkan bahwa kita, manusia, adalah bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem alam itu sendiri.

Dalam perkembangannya ecotherapy hadir dalam beragam bentuk, mulai dari sekedar menikmati keindahan alam, merasakan (aroma, suara, hawa) alam, berpetualang di alam, hingga bercocok tanam di alam. Efektivitas ecotherapy dalam penyembuhan gangguan kesehatan tubuh dan jiwa telah melampaui sekedar klaim tidak berdasar. Sudah banyak penelitian yang membuktikan efikasi ecotherapy dalam memperbaiki kesehatan tubuh dan jiwa, salah satunya pengalaman kesembuhan kelompok perempuan paruh baya melalui terapi hutan kota seperti yang dilaporkan oleh Hyun Jin Lee dan kawan-kawan (2019) di jurnal Urban Forestry & Urban Greening.

Di tengah keterbatasan gerak akibat cekaman Covid-19 – dengan berada, berjemur, menikmati keindahan (kehijauan) atau beraktivitas di pekarangan – sebenarnya kita sudah menjalani ecotherapy. Perjumpaan yang intim dengan pekarangan sangat boleh jadi dapat memberi kita tiga manfaat: kebugaran badan, ketenangan jiwa dan kejernihan pikiran. Pada saat yang sama, karena pekarangan sejatinya adalah miniatur hutan maka berinteraksi dengannya sekaligus mengobati rasa rindu pada hutan – hunian manusia saat masih berperan sebagai pemburu-pengumpul.

https://betanews.id/2020/11/pekarangan-eskapisme-ekologis.html

Tag

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp
Kategori
Kalau ke SCU, berasa kaya lagi vacation deh, suasana kampusnya asyik, bisa praktik bikin candy, AI, belajar anatomi tubuh manusia dan masih banyak lagi. Pokoknya fun banget. Hayuk! Sekolahmu juga bisa! 

Daftar online
pmb.unika.ac.id

#KampusTur
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning
Segenap Sivitas Akademika Soegijapranata Catholic University (SCU), turut berduka cita atas meninggalnya Ir. Daniel Hartanto, S.T., M.T (Dosen Program Studi Teknik Sipil)

#RIP
Selamat Hari jadi ke-477 Kota Semarang ✨

#HUTSemarang
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning
Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional ✨

#HariPendidikanNasional
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning
Selamat Hari Buruh 2024

#HariBuruh
Stop Galau! Masih ada Beasiswa Masuk di SCU, buruan! Gak pake tes cuma pakai nilai rapor ajah 😁

Daftar online
pmb.unika.ac.id

#BeasiswaKuliah
#PTSTerbaikJawaTengah
#JoyfulCampus
#JoyfulLearning

Share:

More Posts

Send Us A Message