Oleh Benny Danang Setianto, buruh pengajar dan peneliti FHK dan PMLP Unika Soegijapranata.
Kegiatan penambangan dalam kapasitas yang besar dapat dipastikan akan menimbulkan dampak penting dan signifikan terhadap lingkungan hidup, tanpa melihat tujuan penambangan tersebut. Hal itu yang mendasari mengapa izin untuk melakukan kegiatan itu selalu dibutuhkan. Apalagi jika proses penambangan tersebut akan membuat warga sekitar kehilangan haknya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih, sehat dan berkelanjutan.
HARI Jumat 18 Februari 2022, harian kita Suara Merdeka menampilkan kepala berita di halaman satu “Tambang Andesit Tak Perlu IUP”, yang diambil dari pernyataan Menteri ESDM Arifin Tasrif. Pernyataan itu muncul akibat usikan beberapa akademisi yang mempertanyakan pertambangan batu andesit di Desa Wadas guna pembangunan Waduk Bener di Kabupaten Purworejo. Pernyataan itu otomatis memunculkan bantahan dari anggota Komisi VII DPR.
Tulisan ini ingin menunjukkan bagaimana perspektif keadilan lingkungan bisa digunakan untuk memotret pernyataan itu, terutama bagi lingkungan hidup yang menjadi tumpuan manusia agar bisa bertahan hidup.
Keadilan Lingkungan
Istilah keadilan lingkungan sebenarnya baru ada ketika di Amerika Serikat muncul demonstrasi untuk menentang kondisi sanitasi yang buruk pada tanggal 11 Februari 1968. Demonstrasi ini dilakukan oleh warga negara Amerika yang berkulit hitam yang merasa bahwa perlakuan Pemerintah Kota Memphis membedakan antara mereka yang berkulit hitam dan berkulit putih, terutama bagi pekerja-pekerja dinas kebersihan. Tentu saja gerakan ini didukung dengan berkembangnya pula gerakan kemerdekaan masyarakat sipil (Civil Liberties).
Gerakan ini semakin menguat dan menjadi tuntutan hukum ketika masyarakat kulit hitam di Houston protes terhadap penempatan Tempat Pembuangan Sampah yang terlalu dekat dengan tempat tinggal mereka.
Dalam kasus antara Bean v South-western Waste Management Corps, mereka menuntut untuk dipindahkannya lokasi pembuangan sampah dari area permukiman mereka. Hal itu memunculkan kesadaran juga bahwa selama ini lokasi-lokasi di mana warga kulit hitam tinggal ternyata sering kali dijadikan juga sebagai lokasi untuk Tempat Pembuangan Sampah baik sementara maupun permanen.
Sejak saat itulah, kesadaran bahwa pemerintah seringkali memperlakukan secara diskriminatif untuk warga kulit hitam yag dikaitkan dengan kebijakan perlindungan lingkungan semakin menguat. Seringkali masyarakat kulit hitam yang kebetulan juga memiliki pendapatan ekonomi yang relatif rendah menerima paparan kondisi lingkungan yang lebih buruk dibandingkan dengan kaum kulit putih.
Beberapa kasus serupa muncul di beberapa daerah di Amerika Serikat, hingga muncullah kongres pertama di Washington DC yang mengumpulkan warga negara Amerika Serikat dari berbagai daerah dan terutama mereka yang bukan kulit putih (Afrika-Amerika, Asia, Latino dan Indian) dan melahirkan prinsip-prinsip keadilan lingkungan.
Ada 17 prinsip yang dicetuskan pada pertemuan pada tahun 1991 itu. Perlindungan lingkungan hidup tidak bisa dilepaskan dengan perlindungan masyarakat yang tertindas. Mereka yang lemah secara ekonomi, dan memiliki kedudukan sosial lebih rendah dalam masyarakat tidak boleh begitu saja dikalahkan atas nama perlindungan lingkungan. Bahkan dalam upaya mempertahankan kondisi lingkungan hidup yang baik, kondisi mereka justru menjadi salah satu fokus perhatian juga. Prinsip itu juga menegaskan adanya hak dari masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat.
Gerakan keadilan lingkungan ini menguat ke seluruh dunia karena ternyata fenomena yang terjadi di Amerika Serikat juga terjadi di banyak negara lainnya. Kebijakan untuk menempatkan lokasi Tempat Pembuangan Sampah misalnya, seringkali memang dialokasikan lebih dekat dengan permukiman yang secara ekonomi lebih rendah dibandingkan di kawasan elite.
Lebih jauh lagi, bahkan kebijakan-kebijakan lingkungan seringkali lebih mendukung kepentingan kaum menengah atas dibandingkan dengan kepentingan masyarakat yang secara sosial dipandang lebih rendah. Di banyak negara berkembang, atas nama pembangunan dan pengembangan maka masyarakat yang dipandang memiliki status sosial lebih rendah dipaksa kalah dengan mengalami paparan lingkungan yang lebih buruk.
Fenomena tersebut mendorong PBB secara serius kemudian melakukan beberapa kajian tentang kepentingan,masyarakat untuk mendapatkan jaminan terhadap lingkungan hidup yang sehat sehingga membatasi pemerintah untuk tidak semena-mena menetapkan kebijakan pembangunan yang melanggar jaminan tersebut.
Puncaknya, pada tanggal 8 Oktober 2021, Dewan Hak Asasi Manusia (The Human Rights Council) mengakui bahwa hak atas lingkungan hidup yang bersih, sehat dan berkelanjutan adalah Hak Asasi Manusia yang wajib dilindungi oleh semua negara. Fenomena Wadas Terlepas dari bentrokan fisik yang terjadi baru-baru ini di Desa Wadas yang juga memunculkan potensi pelanggaran HAM, tulisan ini akan lebih menyoroti bagaimana ketidakadilan telah terjadi.
Kebijakan untuk melindungi lingkungan ditujukan agar semua kegiatan manusia yang memiliki potensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan harus dilakukan dengan hati-hati. Oleh karena itu, seringkali pemerintah di banyak negara mempersyaratkan banyak hal sebelum memberikan izin bagi terlaksananya kegiatan tersebut.
Kegiatan penambangan dalam kapasitas yang besar dapat dipastikan akan menimbulkan dampak penting dan signifikan terhadap lingkungan hidup, tanpa melihat tujuan penambangan tersebut. Hal itu yang mendasari mengapa izin untuk melakukan kegiatan itu selalu dibutuhkan. Apalagi jika proses penambangan tersebut akan membuat warga sekitar kehilangan haknya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih, sehat dan berkelanjutan.
Tujuan yang berbeda terhadap pelaksanaan penambangan bisa jadi membuat secara hukum tidak perlu mendapatkan izin penambangan, namun perlindungan lingkungan bukan sekadar hukum (administratif) belaka. Bagi alam, segala persyaratan adminstrasi hukum tidak berpengaruh banyak terhadap kenyataan akan dampak buruk yang terjadi.
Analogi yang sama adalah bahwa hukuman mati di banyak negara masih dilaksanakan, tetapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa hukuman mati adalah pelanggaran terhadap hak hidup sebagaimana telah dituangkan dalam perjanjian tambahan kedua dari Kovenan Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi Indonesia juga.
Dalam gerakan keadilan lingkungan justru di situlah pokok permasalahannya. Hukum dan kebijakan tidak berpihak kepada mereka yang lemah dan terpinggirkan. Terlebih karena alam tidak bisa mempertahankan dirinya jika manusia sendiri tidak memiliki kesadaran untuk melindungi mereka. Di sinilah tantangan kebijakan pembangunan berkelanjutan menemui ujiannya. Akankah membiarkan ketidakadilan lingkungan terus terjadi.(34)
# Suara Merdeka 22 Februari 2022 hal. 4