Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengenai saat ini Indonesia sedang memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi, kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu, dan masuk kelas tidak menjamin belajar. Menurut Rektor Unika Soegijapranata Semarang Prof Ridwan Sanjaya, bukanlah hal yang baru.
Pada akhir 2017 lalu surat kabar Suara Merdeka, dalam tajuk rencananya menyebutkan bahwa perusahaan skala global, Google misalnya sudah tidak lagi mensyaratkan ijazah untuk bergabung. Beberapa media di Selandia Baru, pada awal 2016 juga menuliskan hal yang senada.
"Artinya berarti ada pengalaman, yang menjadi lonceng bagi dunia pendidikan untuk jangan mengeluarkan ijazah kalau memang tidak bisa menjamin kompetensi," kata Prof Ridwan kepada wartawan, sebelum memimpin Wisuda Periode III Unika Soegijapranata, Sabtu (14/12).
Kompetensi yang sudah diatur dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), dan dijanjikan kepada mahasiswa ketika akan masuk ke perguruan tinggi tersebut harus ditepati. Terkadang perguruan tinggi ingkar terhadap apa yang telah dijanjikan dan melakukan yang tidak sesuai, inilah yang diingatkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Tapi apa yang dinyatakan Nadiem Makarim menurutnya, hanya satu sisi saja karena dunia pendidikan bukan hanya bicara soal kompetensi atau hardskill. Dunia pendidikan juga bicara soal softskill yang merupakan akselator agar kemampuan hardskill yang dimiliki menjadi lebih lincah gerakannya.
Unika Soegijapranata menyiapkan softskill sejak mahasiswa baru masuk, melalui program Airising The Greatful Winner (ATGW), LKTD dan LKTL. Program ini dari awal masuk kuliah sampai jelang lulus. Saat sudah hampir selesai studinya, Mahasiswa juga diberi program karir, untuk memasuki dunia kerja.
"Program ini sudah terencana, bukan secaa sporadis. Dulu direncanakan secara manual kini dengan cara digital," tambahnya.
Mahasiswa juga diminta menuliskan dalam aplikasi My Goals, ingin mengikuti kegiatan apa saja selama berkuliah di kampus tersebut dan dievaluasi setiap tahunnya. "Karena terencana diharapkan softskill mahasiswa terbentuk dengan baik," katanya.
Laporan yang dipublikasikan oleh McKinsey Global Institute pada 2017, diprediksi terdapat 800 juta pekerjaan di seluruh dunia akan hilang akibat otomatisasi pada tahun 2030. Bahkan pada 2019, McKinsey menuliskan kembali laporan yang memprediksi bahwa ada 23 juta pekerjaan di Indonesia yang terancam punah di tahun 2030.
"Laporan tersebut mengingatkan bahwa adopsi teknologi informasi merupakan kemampuan dasar," tambahnya.
Jika perguuan tinggi mampu menyiapkan kemampuan-kemampuan tersebut maka akan menjadi pembeda dengan perguruan tinggi lainnya. Ketika ada institusi perguruan tinggi hanya menyiapkan hardskill maka lulusannya hanya mempunyai kompetensi saja.
►https://www.suaramerdeka.com/news/baca/210339/unika-siapkan-lulusannya-hadapi-masa-depan