Oleh Aloys Budi Pumomo Pr, ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan Semarang, pengajar pada Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata.
Adalah tanggung jawab kita semua, apa pun agama dan kepercayaan kita, untuk menjaga bumi dan seisinya.
TULISAN ini terinspirasi oleh Surat Gembala Ignatius Kardinal Suharyo, “Tanggung Jawab Kita Menjaga Bumi Seisinya.” Sangat istimewa bahwa Kardinal Suharyo menulis dan menerbitkan “Surat Gembala” dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2022. Ignatius Kardinal Suharyo adalah Uskup KeuskupanAgung Jakarta.
Dia juga menjadi ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Dengan demikian, Kardinal Suharyo menerbitkan Surat Gembala untuk menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia merupakan tindakan yang tepat dan strategis untuk bangsa ini. Memihak dan peduli pada lingkungan hidup yang sedang mengalami kehancuran yang sangat parah dalam lima puluh tahun terakhir merupakan kewajiban, bukan sekadar pilihan manasuka.
Kerusakan lingkungan yang merupakan bagian dari krisis ekologi yang menimpa bumi, rumah bersama juga terjadi di Indonesia. Surat Gembala Ignatius Kardinal Suharyo dapat ditempatkan sebagai seruan suara hati ekologis untuk bangsa ini juga agar sadar tentang tanggung jawabnya untuk menjaga bumi dan seisinya.
Tanggal 5 Juni (kemarin) dinyatakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Penetapan itu didasarkan pada Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972. Tema peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Stockholm adalah “Planet yang sehat demi kesejahteraan bersama – tanggung jawab dan kesempatan kita.” Tema tersebut dirumuskan berdasarkan tiga persoalan mendesak terkait dengan lingkungan hidup.
Ketiga masalah urgen dan darurat tersebut dirumuskan sebagai berikut. Pertama, pemanasan global dan perubahan iklim. Kedua, kehancuran alam dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ketiga, masalah polusi, yakni polusi udara, air, dan tanah. Ketiga persoalan tersebut menjadi persoalan kita semua untuk bertanggung jawab pada bumi. Kita pun diingatkan, jangan-jangan selama ini kita abai terhadap persoalan tersebut. Atau bahkan menjadi bagian penyebab persolan.
Tanggung Jawab Semua
Adalah tanggung jawab kita semua, apa pun agama dan kepercayaan kita, untuk menjaga bumi dan seisinya. Semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk merawat bumi dan peduli kepada sesama, terutama kaum duafa, yang biasanya paling rentan terdampak atas terjadi kehancuran lingkungan kita. Tentang hal ini, Kardinal Suharyo mengingatkan kita semua sebagai warga bangsa Indonesia agar “apakah mungkin kita bisa peduli khususnya kepada saudari-saudara kita yang kurang beruntung dan umat manusia pada umumnya jika kita tidak peduli pada lingkungan hidup?”
Lebih lanjut kita diingatkan, “Banyak orang lapar karena rusaknya tanah-tanah produktif. Banyak orang haus karena semakin kurangnya air bersih. Banyak orang sakit karena udara kotor” (Surat Gembala, no. 5).
Karenanya, kita diajak untuk “mengakui dengan jujur dan tulus bahwa kita belum sungguh peduli. Karena itu kita perlu terus berusaha untuk melakukan pertobatan ekologis yang lebih mendalam” (Surat Gembala, no 7). Inilah yang sudah jauh hari diingatkan oleh Santo Yohanes Paulus II dan ditegaskan kembali oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ (Francis, 2015).
Menurut Paus Fransiskus, “krisis ekologi merupakan panggilan untuk pertobatan batin yang mendalam. Menghayati panggilan untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari kehidupan yang saleh, dan bukan sesuatu yang opsional atau aspek sekunder” (Laudato Si’, no. 217). Pertobatan ekologis diperlukan bukan hanya oleh pribadi-pribadi secara individual, melainkan oleh dinamisme perubahan yang berkelanjutan sebagai pertobatan komunal, komunitas sosial-kemasyarakatan, secara bersama-sama.
Gerakan-gerakan yang sudah bertumbuh di masyarakat, misalnya, kepekaan terhadap kerusakan lingkungan dan perjuangan melawan para perusak lingkungan harus menjadi kepedulian dan pertobatan kita pula. Gerakan-gerakan ekopraksis melalui berbagai best practices, seperti gerakan eco-enzyme, composting, pertanian organik, pengolahan sampah, hingga pergerakan untuk konservasi lingkungan perlu menjadi perhatian kita. Tanggung jawab untuk melestarikan alam adalah bagian dari suatu gaya hidup yang mencakup kemampuan untuk hidup bersama dan dalam persekutuan serta persaudaraan global. Dasar persekutuan dan solidaritas global adalah kasih persaudaraan yang hanya mungkin bila diwujudkan dengan tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih akan mendorong kita untuk mencintai dan menerima tidak hanya sesama manusia melainkan juga bumi dan seisinya.
Itulah yang diteladankan oleh para mistikus, misalnya Santo Fransiskus Asissi dari tradisi Katolik dan Ali Al-Khawas dari tradisi Islam. Mereka mengajarkan dan memberi teladan kepada kita betapa kasih persaudaraan dapat pula dikembangkan kepada alam semesta. Puncaknya adalah bumi, numah bersama dan seisinya menjadi tanggung jawab semua orang.(34)
#Suara Merdeka 6 JUni 2022 hal. 4