Sebuah sayembara tingkat internasional tentang ide desain Gedung Serba Guna (GSG) yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro (Undip) atau Universitas Diponegoro Multiuse Building Design Competition telah membawa Gustav Anandhita ST MT bersama timnya meraih juara III dengan mengalahkan sekitar 60 pesaing lainnya yang juga mengikuti sayembara tersebut.
Dalam perjumpaan singkat dengan sosok Gustav Anandhita yang merupakan salah satu dosen prodi Arsitektur Unika Soegijapranata yang khusus membidangi teknologi bangunan dan komputasi arsitektur, ada cerita menarik yang bisa disimak.
Mengawali perbincangan, Gustav menceritakan kembali awal keikutsertaannya dalam sayembara ide desain GSG.
“Tujuan dari lomba ini awalnya dari keinginan pihak Undip yang ingin mendirikan icon baru pada GSG yang berlokasi di bagian depan area Undip. Di situ akan dirombak dan didirikan sebuah gedung baru yang skalanya cukup besar (convention hall) dan bisa menampung 8.000 orang, serta bisa difungsikan untuk penggunaan berbagai kepentingan penggunaan ruang, seperti wisuda, olah raga, ekshibisi, atau bahkan bisa disewakan untuk acara resepsi pernikahan. Dan dengan daya tampung 8.000 orang itu bisa disekat menjadi beberapa bagian,” tuturnya.
“Dalam mengikuti lomba ide desain ini, saya beserta tim yang terdiri dari saya sendiri, alumni Unika ada dua orang yaitu Thio Natalia (alumni angkatan 2012) dan Kristoporus Primeloka (alumni angkatan 2006), serta rekan saya yang sering disapa Deni, dan yang terakhir sebagai mentor adalah Ir Agung Budi Sardjono,” ucapnya.
Saat ditanya apa yang menjadi daya tarik dalam desainnya sehingga terpilih menjadi juara III, Gustav kembali menyampaikan beberapa keunggulan ide desain karya timnya.
“Keunggulan dalam ide desain tim kami adalah pada konsepnya. Selain itu dari kami juga diminta green architecture-nya dari desain kami, dan yang kami rancang adalah memperhatikan traffic kendaraan di sekitar lokasi yang sudah cukup padat, apalagi apabila benar-benar kapasitas 8.000 orang itu betul-betul dilakukan, maka tidak terbayang kemacetan yang ditimbulkan traffic kendaraan yang ada di sekitar GSG, sehingga bisa pula berdampak kepada arus lalu lintas sekitar tembalang, juga pintu keluar TOL,” jelas Gustav.
“Jadi tantangannya menurut kami adalah membuat sebuah bangunan besar di tengah-tengah keramaian. Dengan demikian, hal tersebut yang mungkin tidak terpikirkan oleh peserta tim lain, yaitu kami menganalisis lalu lintasnya. Jadi kami membuat sebuah sirkulasi tambahan di site yang fungsinya untuk memecah kemacetan, sehingga konsepnya seperti alun-alun, maka desain bangunan kami itu ditengah-tengahnya dan dikelilingi oleh jalan untuk memecah sirkulasinya. Karena pertimbangan tersebut, mungkin juri melihat ada keunggulan dalam desain kami,” terangnya.
“Strategi lain adalah kami diminta untuk membuat desain bangunan yang berkapasitas 5.000 sampai dengan 8.000 orang, dan kami memilih membuat desain dengan kapasitas paling minimal yaitu 5.000. Jadi massa bangunan kami itu tidak terlalu gedhe banget, tapi dipecah-pecah menjadi beberapa kecil massa bangunan. Itu tujuannya supaya pembangunannya bisa bertahap, tidak langsung gedhe besar, kan akan menelan biaya cukup besar. Bangunannya kita pecah jadi empat gedung, yaitu gedung convention, hotel, office dan komersial. Jadi itu sebuah gedung yang pembangunannya bisa bertahap.”
Saat ditanya isu baru apa yang muncul dengan adanya sayembara GSG ini, Gustav menyampaikan pandangannya. ”Dalam era saat ini bangunan akademis itu bisa lebih multifungsi, yaitu seperti tadi bisa disewakan untuk pameran atau bahkan resepsi pernikahan. Sehingga bisa mendatangkan profit dari aset yang dimiliki oleh universitas.”
Di akhir perbincangan Gustav kembali mengingatkan dan lebih mendorong para mahasiswa untuk berani out of the box, “ Sayembara itu kan pertemuan dari ratusan ide, maka jika bisa buatlah sebuah ide yang memiliki nilai lebih sebagai pembeda atau ada nilai uniknya di situ, karena kalau hanya memecahkan masalah, ya hampir semua peserta pasti akan menjawab permasalahan yang diberikan di TOR atau KAK, tetapi carilah sesuatu yang unik dan origin dari pemikiran pribadi, itu paling tidak untuk bisa dilirik oleh juri sehingga paling tidak bisa masuk finalis dulu, karena yang membedakan antar proyek real dengan sayembara adalah dalam sayembara membuka kesempatan seluas-luasnya terhadap ide-ide baru, kalau real project biasanya adalah cari aman. Maka jangan takut untuk bereksplorasi semaksimal mungkin,” pungkasnya. (fas)