Oleh: Aloys Budi Purnomo Pr, mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan. Unika Soegijapranata, Moderator Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan Semarang
SEJAK Rabu 17 Februari 2021 hingga 2 April 2021, umat Kristiani, khususnya Gereja Katolik di seluruh dunia, memasuki masa Prapaskah yang diawali dengan perayaan Rabu Abu (17/2). Seiring dengan itu, tiada terasa, sudah hampir setahun pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk bangsa kita. Tahun lalu, umat Kristiani sudah menghayati masa Prapaskah ini dalam suasana pandemi. Rangkaian ritual bersama berubah total dilaksanakan secara online atau virtual, termasuk perayaan Paskah, yang merupakan sumber dan pucak hidup beriman Kristiani. Semua itu dihayati dalam rangka ‘’keselamatan bersama’’agar rumah ibadah tidak menjadi klaster baru bagi penyebaran virus korona yang membahayakan kehidupan kita bersama.
Walaupun di tengah pandemi, umat tetap dapat menghayati masa Prapaskah dengan baik dan tekun sebagai kesempatan berharga untuk mempersiapkan diri merayakan puncak karya penyelamatan Tuhan dalam perayaan Paskah. Dalam tradisi Gereja Katolik, masa Prapaskah sebagai masa puasa dan pantang dilaksanakan selama empat puluh hari. Selama masa itu, umat diajak untuk menghayati sikap batin, pertobatan individual maupun komunal. Puasa dan pantang diarahkan agar berbuah dalam solidaritas dan bela rasa dengan sesama yang menderita dan membutuhkan perhatian kita. Maka, dalam masa itu juga, diselenggarakanlah Aksi Puasa Pembangunan (APP). Melalui APP, umat diajak mengembangkan semangat berbagi berkat bagi sesama umat dan masyarakat yang berkekurangan mulai dari keluarga. Semangat pertobatan dihayati dengan rasa syukur atas kerahiman Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam tradisi Kristiani disapa sebagai Allah Bapa yang murah hati. Itulah sebabnya, umat pun diajak membuka hati mensyukuri rahmat kerahiman Allah, dan bertumbuh dalam kesucian melalui keutamaan-keutamaan hidup sehari-hari melalui kepedulian dan solidaritas kepada sesama dan semesta alam.
Itulah yang saya sebut sebagai kesalehan sosioekologal, perpaduan antara kesalehan sosial dan kesalehan ekologal, ditopang kesalehan (spi)ritual. Keutamaan hidup itu diwujudkan dalam sikap dan praktik nyata, tidak hanya dalam kesalehan (spi)ritual, tetapi juga dengan kesalehan sosial. Kesalehan sosial dihayati dan diwujudkan dalam cara hidup, cara berpikir, cara merasa, cara bertindak, dan cara memperlakukan sesama (bdk. Mgr. Robertus, Surat Gembala Prapaskah, 2021). Kesalehan sosial tidak bisa dilepaskan dari kesalehan ritual. Selama hampir setahun masa pandemi Covid-19 umat beragama apa pun, termasuk umat Katolik, menemukan cara-cara baru dan tepat untuk mengikatkan diri semakin erat pada Tuhan, meskipun dilakukan secara virtual. Bagusnya adalah, meski semua mengalami dampak buruk pandemi, namun kesalehan sosial melalui kepedulian, solidaritas, dan semangat berbagi tidaklah pupus. Iman tetap mengalir dalam rahmat kebaikan dan kepekaan kepada sesama. Gerakan lumbung pangan, peduli tetangga, dan solidaritas sosial tetap berjalan mengatasi penyakit konsumerisme dan egoisme yang dangkal. Kesalehan sosial juga terungkap melalui sikap saling membantu dan saling mendoakan. Persaudaran dengan siapa saja diteguhkan. Sangat vital, kesalehan sosial dihayati dengan tetap taat menerapkan protokol kesehatan. Memakai masker, mencuci tangan, saling menjaga jarak, merupakan bentukbentuk sederhana kesalehan sosial, representasi upaya mengutamakan keselamatan bersama. Kesalehan sosial juga dihayati dalam semangat menjaga dan meningkatkan persaudaraan insani dengan siapa saja tanpa diskriminasi. Dalam perspektif kebangsaan, kesalehan sosial merupakan implementasi dari penghayatan dan pengamalan Pancasila, khususnya kemanusiaan yang adil dan beradab; persatauan Indonesia, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam arti ini, kesalehan sosial bukanlah monopoli kristianitas, melainkan dihayati dalam kebersamaan dengan semua warga bangsa dan masyarakat, apa pun agama dan kepercayaan kita.
Kesalehan Ekologal
Adalah fakta tak terbantahkan, kehidupan kita sebagai manusia saling terhubung satu sama lain, termasuk dengan semesta alam, tempat kita semua tinggal dan berada. Karena itu, keadaan sehat setiap lembaga-lembaga masyarakat pun berdampak pada lingkungan dan kualitas hidup kita sebagai manusia. Sebaliknya, setiap pelanggaran terhadap solidaritas dan persahabatan di antara masyarakat warga berdampak pula terhadap kerusakan lingkungan. Begitulah, kesalehan ekologal menjadi signifikan dan relevan. Apalagi kita mengalami, pada awal tahun 2021, berbagai bencana alam melanda kehidupan kita dalam wajah banjir, tanah longsor, dan bencana lingkungan lainnya. Banjir bukanlah takdir. Termasuk tanah longsor. Semua erat terkait dengan perilaku manusia terhadap alam semesta. Itulah sebabnya, pentinglah memikirkan dan mewujudkan kesalehan ekologal. Kesalehan ekologal, meminjam ajaran Ensiklik Laudato Sií (Paus Fransiskus, 2015), erat terkait dengan lingkungan kita hidup.
Lingkungan kita memengaruhi cara kita memandang hidup, merasa dan bertindak. Kesalehan ekologal diwujudkan dari kamar kita, di rumah kita, di tempat bekerja, dan di wilayah sekitar kita. Dari sanalah, jatidiri identitas kita terungkap. Bila lingkungan alam kita berantakan, kacau, atau penuh dengan polusi gambar dan suara, semua itu merepresentasikan identitas diri kita. Ketika kita menjadi pribadi yang peduli keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan juga bagi generasi masa mendatang, kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat mulai diwujudkan pula.(37)
sumber: https://www.suaramerdeka.com/news/opini/256578-kesalehan-sosio-ekologal?page=all
Suara Merdeka 6 Maret 2021 hal. 4