Sebuah gambaran tentang kondisi anak muda di masa damai pasca konflik tergambar dalam film pendek berdurasi sekitar sembilan menit. Suatu gambaran keinginan untuk menjaga kedamaian meskipun mereka tidak mengalami, tetapi mendengar cerita dari orang-orang tua di sekitar kehidupan mereka tentang konflik yang terjadi.
Harapan dan keinginan mereka tuangkan dalam tulisan untuk mengekspresikan dan menanamkan kedamaian dalam hati mereka, dan memupus persengketaan di masa lampau, serta menyongsong masa depan yang lebih cerah.
Itulah salah satu cuplikan kegiatan di awal diselenggarakannya acara diskusi dengan pemutaran film ‘Peace Generation’ yang mengangkat tema “Perempuan Muda, Suara Tak Terbaca dan Perdamaian” yang diselenggarakan oleh Program Magister Ilmu Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata bekerja sama dengan komunitas Sedekah Budaya.
Acara yang digelar di ruang Teater gedung Thomas Aquinas ini cukup menarik di simak, seperti yang disampaikan oleh Donny Danardono SH Mag Hum selaku Ketua Program Studi PMLP.
“Berbicara mengenai perempuan bisa menjadi suatu penyegaran kembali untuk pemikiran-pemikiran kita yang mungkin sudah capek dengan persoalan politik kenegaraan Indonesia,” ucap Donny.
“Maka kita berkesempatan untuk sejenak jeda untuk kembali kepada hal-hal yang berkaitan dengan gender,” lanjutnya.
Sedangkan Zubaidah Djohar sebagai narasumber dalam diskusi tersebut memaparkan perlunya ruang konsultasi supaya pemikiran-pemikiran orang muda terutama suara-suara perempuan tertampung di dalamnya. “Dalam diskusi ini kita mencoba melihat bagaimana selama ini kaum muda terutama perempuan itu sering tertinggal dalam proses pembangunan. Suara-suara dan aspirasi mereka sering tidak didengar. Sebenarnya bukan persoalan didengar atau tidak, tetapi yang utama adalah tidak adanya ruang konsultasi untuk mereka,” tutur Zubaidah.
“ Maka perlu sekali adanya sosialisasi, ruang konsultasi dimana pemikiran-pemikiran kaum muda itu tertampung dan ada ruang bagi mereka,” sambungnya.
Sementara Ika Camelia yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut, dan memiliki perhatian pada penanganan anak jalanan serta perlindungan perempuan dan anak, juga menjelaskan pandangannya terkait persoalan perempuan.
“Kalau saya lebih mendasari pada budaya. Jadi selama ini diskriminasi terhadap perempuan masih sangat melekat, terutama di lingkungan keluarga. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat, kesempatan untuk keluar dan bekerja, masih banyak kesempatan itu diberikan kepada laki-laki. Nah, budaya yang semacam inilah yang mengkonstruksi sehingga perempuan seolah-olah tidak punya ruang, karena sudah ada anggapan seperti itu,” jelas Ika.
“Bahkan dari sisi perempuan itu sendiri juga masih memperlakukan dirinya seperti kodrat. Dan itu terjadi karena budaya atau warisan yang turun temurun. Padahal pada dasarnya ada dua hal yang ada di dalam diri perempuan yaitu kodrat dan peran. Kodrat adalah sesuatu yang tidak bisa digantikan, seperti melahirkan dan menyusui. Tetapi apabila perempuan itu memasak, itu kan peran bukan kodrat,” ungkapnya.
“Efek dari bentukan budaya tersebut, maka pada diri perempuan mengalami kepercayaan diri yang kurang. Sehingga apabila mendapatkan kesempatan atau peluang untuk maju biasanya mereka akan memberikan kepada laki-laki. Inilah beberapa hal yang harus diperbaiki dan dirubah supaya ada kesetaraan gender dan kesamaan persepsi bahwa kesempatan bagi laki-laki dan perempuan itu adalah sama,” tutupnya. (fas)
Perdalam Komunikasi Kreatif Jadi Upaya Ilmu Komunikasi SCU Persiapkan Mahasiswa Hadapi Perkembangan Dunia Digital
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Soegijapranata Catholic University (SCU) diajak