Sebuah Seminar Pendidikan Tinggi Menuju Society 5.0 yang diselenggarakan oleh Forum Doktor LPPM Unika Soegijapranata tampak menggugah kesadaran kita akan arti penting kemanusiaan di tengah terjangan kemajuan teknologi informasi yang semakin massive di kehidupan kita.
Untuk menjawab tantangan itu maka pada hari Kamis (8/8) bertempat di ruang Teater gedung Thomas Aquinas telah diselenggarakan seminar dengan topik “Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Mandat Kemanusiaan” dengan mengundang narasumber Direktur Penjaminan Mutu Direktorat Penjaminan Mutu, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Prof Dr Aris Junaidi, Chief Technology Officer Inovator 4.0 Indonesia Irendra Radjawali, serta salah satu dosen Unika Soegijapranata Robertus Setiawan Aji Nugroho, PhD.
Dalam wawancara singkat dengan Prof Dr Aris Junaidi dipaparkan tentang upaya pemerintah dalam mendorong pengembangan pendidikan tinggi dalam rangka pemenuhan kebutuhan dunia kerja secara nasional maupun internasional.
“Saat ini kebijakan-kebijakan pembelajaran dan kemahasiswaan itu lebih banyak kepada yang dikaitkan dengan revolusi industri 4.0 melalui reorientasi kurikulum. Jadi ada penguatan literasinya, kemudian juga (Massive Open Online Courses) MOOCS-nya. Selanjutnya saat ini kita juga sedang menyusun online learning atau pembelajaran jarak jauh serta penyusunan kebijakan kita empat tahun ke depan sesuai dengan arahan Bapak Presiden, yang akan mengarah kepada vokasional,” papar Prof Aris.
“Kebijakan tersebut akan dilakukan mengingat proporsi politeknik (vokasi) masih sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan institusi pendidikan tinggi, yaitu untuk politeknik masih sekitar 269 sedangkan institusi pendidikan tinggi di Indonesia kurang lebih sebesar 4.700-an. Oleh karena itu anggaran kita untuk lima tahun ke depan fokusnya pada pendidikan vokasi (sekitar 200 politeknik baru),” lanjut Prof Aris.
“Sedangkan disparitas kualitas di pendidikan tinggi juga masih sangat jauh, artinya dari jumlah sekitar 4.700-an tadi, yang terakreditasi institusi A hanya sekitar 95. Jadi sesuai dengan kebijakan kementerian diharapkan tiap tahun ada tambahan dua atau tiga perguruan tinggi di Indonesia yang masuk ke 500 Top Rank In The World. Juga Prodi-prodi yang berjumlah sekitar 26.000, sekarang ini baru sekitar 295 yang terakreditasi internasional, sehingga dengan demikian pekerjaan rumah kita masih banyak,”jelasnya.
Sedangkan Irendra Radjawali sebagai pakar drone dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) di Inovator 4.0, mengemukakan pandangannya terkait revolusi industri 4.0 dan society 5.0.
“Kita khawatir ada sementara orang yang masih beranggapan revolusi industri 4.0 masih gimmick saja, justru secanggih-canggihnya teknologi jika bicara revolusi industri 4.0 pasti kita bicara tentang big data,” ucap Radja.
“Dan semaju apapun teknologi atau algoritma tetapi ketika analognya atau manusianya tidak beres, maka hasilnya pun juga tidak beres. Sehingga apabila tidak kita bereskan relasi kemanusiaannya maka revolusi industri 4.0 akan menjadikan manusia seperti zombi atau manusia hidup tapi kepalanya tidak berpikir, karena yang masuk ke dalam kepalanya tidak karuan melalui HP, atau media apa pun,” terangnya.
“Sehingga pasca revolusi industri 4.0 adalah budaya. Ketika mesin lebih pintar, lebih cerdas, atau lebih cepat daripada manusia, apa yang akan terjadi pada kemanusiaan kalau bukan kegilaan manusia, budaya, cinta atau empati, Itu yang tidak bisa kita ajarkan ke mesin,”tegasnya.
“Persoalan lain adalah apakah big data itu di tangan pemerintah saja seperti social credit score di Cina, atau sebaliknya big data berada di tangan full privat jadi seperti Surveillance Capitalism atau kapitalisme ala baru maka semua big data diekstraksi menjadi profit, itu yang tidak kita inginkan.”
“Maka menurut kami, Social 5.0 kita diantara dua hal itu atau jadi bandul, artinya budaya harus bisa menarik tidak harus selalu ke satu sisi dan tidak ketarik sisi yang lainnya,” pungkasnya. (fas)