
Upaya menghadirkan kembali kekayaan sastra Nusantara ke kancah global menjadi fokus utama dalam Webinar Nasional yang diselenggarakan Faculty of Language and Arts (FLA) Soegijapranata Catholic University (SCU) pada Rabu, 19 November 2025. Memasuki tahun keempat, forum rutin tahunan tersebut kali ini menghadirkan Dosen Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar, Faisal Oddang, MHum dan Dosen Sastra Inggris SCU, Angelika Riyandari, PhD. Mereka membahas peran bahasa, puisi, teknologi digital, serta representasi perempuan dapat menjadi kekuatan untuk mendorong daya saing sastra Indonesia. Tidak hanya menyoroti perkembangan sastra Nusantara, tetapi juga mengajak peserta melihat kembali posisi bahasa dan karya lokal dalam dinamika globalisasi, digitalisasi, serta perubahan budaya membaca.
Ketua Webinar Nasional, Dr. Ekawati Marhaenny Dukut, menjelaskan bahwa tema “Mengangkat Sastra Nusantara dan Kearifan Lokal ke Tingkat Global” dipilih karena relevansinya dengan perubahan lanskap literasi saat ini. “Kami ingin mengajak pemakalah dan peserta untuk melihat kembali akar budaya kita, yaitu bahasa, sastra, dan kearifan lokal, dan bagaimana ketiganya bisa diperkaya dengan pendekatan yang lebih kontemporer,” ujarnya.
Tahun ini, sebanyak 62 pemakalah dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia berpartisipasi, mempresentasikan gagasan mereka yang terbagi dalam topik bahasa, sastra, digitalisasi, dan kesenian, mulai dari strategi branding sastra, kolaborasi seni digital, revitalisasi bahasa daerah, hingga pemanfaatan teknologi dan media sosial untuk memperluas jangkauan karya sastra. “Mereka membahas literasi Nusantara, pemanfaatan teknologi digital, serta berbagai kolaborasi kreatif yang dapat mendorong karya sastra Indonesia mencapai tingkat global,” tambah Dr. Ekawati
Bahasa sebagai Medan Pertarungan Sastra Global
Faisal menegaskan bahwa peningkatan daya saing sastra Indonesia tidak dapat dilepaskan dari persoalan bahasa. Bukan sekedar medium, bahasa menurut Faisal merupakan ‘sikap,’ yaitu bagian dari gagasan itu sendiri. Menurutnya, bahasa lokal harus memperoleh ruang yang setara dalam produksi pengetahuan dan karya sastra.
Ia menghubungkan gagasan tersebut dengan fenomena sastra dunia yang masih didominasi oleh budaya Barat. “Untuk dikenal di tingkat global, sering kali karya dari dunia non-Barat dianggap harus mengikuti kode budaya Barat,” jelasnya. Namun, ia menunjukkan contoh yang mematahkan anggapan itu, pemenang International Booker Prize 2025 yang ditulis dalam Bahasa Kanada, mengangkat kehidupan perempuan Muslim di India Selatan, dan tetap mendapatkan pengakuan internasional.
“Pilihan bahasa dalam menulis sastra adalah bentuk sikap, bisa budaya bahkan politik. Dalam konteks Indonesia, bahasa membawa idiom, metafora, dan cara pikir yang tidak selalu bisa diterjemahkan. Di situlah letak kekayaan sastra Nusantara, bagaimana identitas, cara pandang, dan kearifan lokal bekerja,” jelasnya.
Puisi, Ruang Publik, dan Tantangan Budaya Digital
Sementara, Angelika memperluas diskusi dengan menunjukkan bagaimana sastra, khususnya puisi, dapat dihidupkan kembali melalui ruang publik dan digital. Angelika menyoroti bagaimana pengetahuan masyarakat terhadap puisi Nusantara kian menurun. Di tengah budaya visual yang cepat dan serba instan, puisi sering dianggap usang dan tidak relevan. Karena itu, ia menekankan perlunya menghadirkan puisi kembali ke tengah masyarakat.
Mengangkat contoh Poems on the Underground di London, Angelika menjelaskan bagaimana puisi yang ditempel di kereta bawah tanah dapat mengubah perjalanan harian menjadi pengalaman sosial. “Puisi di sana bukan hanya teks, melainkan ruang perjumpaan dan seruan refleksi yang muncul di tengah rutinitas,” tandasnya. Konsep ini menurutnya sangat mungkin diadaptasi di moda transportasi umum Indonesia, seperti TransJakarta dan MRT, serta ruang-ruang publik, termasuk taman kota hingga kampus.
Di saat yang sama, Angelika mengakui bahwa digitalisasi membuka peluang baru bagi puisi. Fenomena instapoetry misalnya, menghadirkan puisi-puisi pendek yang mudah dipahami. Meski begitu, ia mengingatkan adanya risiko algoritma yang cenderung memprioritaskan konten instan. “Digitalisasi membuka peluang kolaborasi. Puisi bisa dipadukan dengan ilustrasi, musik, hingga video pendek. Namun kualitas estetika dan kedalaman makna harus tetap dijaga, dengan keseimbanan antara estetika dan substansi,” pesannya.
Suara Perempuan dalam Revitalisasi Sastra Nusantara
Angelika juga memberi perhatian pada representasi perempuan dalam dunia sastra dengan menyoroti penyair perempuan, seperti Toeti Heraty, Dorothea Rosa Herliany, dan Oka Rusmini, yang masih belum diakui dan mendapat tempat setara dalam kanon sastra Indonesia, padahal mereka membawa perspektif baru.
Ruang digital, menurut Angelika, kini menjadi tempat yang lebih terbuka bagi perempuan untuk mengekspresikan diri. Perempuan dapat menulis tentang tubuh, trauma, spiritualitas, atau identitas tanpa batas tema. Banyak akun media sosial yang menunjukkan bagaimana suara perempuan mampu memperluas horizon sastra Nusantara menjadi lebih inklusif dan humanis. “Ketika perempuan hadir dalam sastra, ia tidak hanya menambah variasi suara, tetapi juga memperkaya cara kita memahami pengalaman manusia. Representasi perempuan dalam sastra adalah tanda peradaban yang semakin inklusif dan matang,” tegasnya.