Meski konflik di Ambon, Aceh, dan Poso telah lama usai, tantangan kemanusiaan masih membekas hingga hari ini. Pertanyaan tentang keadilan, perlindungan korban, serta upaya membangun kembali kepercayaan antarwarga belum sepenuhnya terjawab. Situasi inilah yang menjadi latar belakang Webinar Internasional “Humanitarian Norms in Post-Conflict Indonesia” yang digelar Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Soegijapranata Catholic University (SCU), Raoul Wallenberg Institute (RWI), dan International Committee of the Red Cross (ICRC) pada Senin (25/8).
Dalam forum tersebut, Kepala LPPM sekaligus Dosen Ilmu Hukum SCU Dr. Yustina Trihoni Nalesti menekankan bahwa norma humaniter internasional perlu dibaca bersama dengan nilai adat lokal. Menurutnya, keduanya saling bersinggungan. “Prinsip larangan pembalasan dalam hukum humaniter sejalan dengan nilai ‘baku baik’ di Ambon, yakni hidup saling berbaik-baik. Artinya, nilai kemanusiaan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan sudah mengakar dalam budaya lokal,” jelasnya.
Dr. Trihoni juga menyoroti lemahnya hukum nasional dalam menangani konflik, yang cenderung parsial dan kurang memberi pertanggungjawaban pada korban maupun kerusakan budaya. Ia mencontohkan kerusakan pada Gereja Tua Soya (GPM Soya Church) pada 28 April 2002 dan Gereja Tua Immanuel Hila (St. Immanuel’s Old Church, Hila) pada 1999 di Maluku yang tak diikuti pertanggungjawaban hukum. Karena itu, ia mendorong agar kebijakan nasional maupun peraturan daerah mengakomodasi nilai adat sebagai dasar penyelesaian. “Nilai adat menyediakan mekanisme akuntabilitas dan perlindungan korban yang perlu dihidupkan kembali,” tegasnya.
Langkah SCU
Sejak 2012, SCU telah mendampingi masyarakat Ambon melalui penguatan lembaga adat Saniri. Pada 2021, forum komunikasi antar-Saniri dibentuk untuk memperkuat jejaring antar-desa adat. Upaya ini bertujuan menjaga nilai rekonsiliasi lokal agar tidak hilang sekaligus menyesuaikannya dengan konteks modern. Dr. Trihoni menegaskan bahwa nilai adat harus dinamis, misalnya dengan mendorong partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan memastikan proses yang lebih demokratis di komunitas.
Selain itu, SCU turut berkontribusi dalam penyusunan rancangan peraturan desa adat di Ambon yang memberi pengakuan pada lembaga adat. Kolaborasi ini bahkan menarik perhatian Kementerian Hukum dan HAM yang tengah mengembangkan konsep Kota Ramah HAM. “Nilai adat dapat menjadi bagian dari upaya tersebut sehingga prinsip HAM berakar pada budaya lokal,” tambahnya.
Dr. Trihoni menekankan, rekonsiliasi pascakonflik harus berpihak pada korban serta menjamin akuntabilitas. Webinar ini, lanjutnya, membuka jejaring baru dengan mitra internasional untuk memperkuat agenda itu. “Dengan mengintegrasikan norma humaniter dan nilai adat dalam kebijakan, kita bisa mewujudkan rekonsiliasi yang lebih kokoh dan berkelanjutan,” tutupnya.
Selain Dr. Trihoni, forum ini juga menghadirkan Christian Ranheim (Regional Director RWI Asia Pacific), Tamalin Bolus (Regional Legal Advisor ICRC), dan Henry Thomas Simarmata (Executive Coordinator Asia Pacific Initiative on International Humanitarian Law). Mereka membahas mulai dari pentingnya penguatan program dan keterlibatan publik dalam tata kelola humaniter di Indonesia, penerapan norma dan mekanisme humaniter dalam situasi pascakonflik, serta peredaran senjata ringan dalam konflik Aceh dan dampaknya terhadap masyarakat pascakonflik.