Program Studi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan (RIL) Soegijapranata Catholic University (SCU) menyoroti potensi, pemanfaatan, dan pengelolaan biodiversitas tanaman herbal di Indonesia. Menghadirkan Peneliti ITB Dr.rer.nat Agus Chahyadi, hal tersebut dibahas dalam Webinar “Envirotory 2025 #3” yang diselenggarakan RIL SCU 19 Maret 2025.
Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terbesar, Agus menyayangkan 90% bahan baku herbal di Indonesia masih diimpor. Padahal, potensi produk herbal harusnya bisa dikembangkan mengingat 25% keanekaragaman hayati diisi oleh tanaman herbal.
“Ironis karena meskipun kita memiliki banyak tanaman obat seperti kunyit dan temulawak, bahan baku herbal kita masih banyak yang diimpor dari Cina dan India,” ungkap Agus.
Dosen RIL SCU BY Arya Wastunimpuna, MArs menjelaskan kurangnya regulasi dan standarisasi serta minimnya penelitian adalah hal lain yang perlu disoroti. Halangan tersebut disinyalir berpengaruh terhadap eksplorasi 30.000 spesies tanaman yang ada. Menurut Badan Kebijakan Perdagangan, baru 5% yang dimanfaatkan sebagai bahan fitofarmaka, sementara 1.000-an jenis lainnya sudah dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional.
Ada pula ancaman krisis iklim yang diperparah oleh deforestasi, kebakaran hutan, serta bencana alam. “Diperlukan upaya kolaboratif untuk memastikan pemanfaatan tanaman herbal tetap berkelanjutan dan bermanfaat bagi generasi mendatang,” tegas Arya.
Sependapat, Agus menilai penelitian terkait senyawa herbal punya potensi besar, namun tidak maksimal karena kurangnya dukungan industri. “Tidak bisa hanya menunggu regulasi, tapi industri dan akademisi harus proaktif menunjukkan potensi herbal kita,” katanya.
Sebagai upaya, pemerintah mulai memberikan perhatian lebih terhadap regulasi biodiversitas, termasuk melalui Kemenkes yang mendukung BUMN dalam pembangunan pabrik obat berbasis herbal. Saat ini, laboratorium herbal pertama di Indonesia sedang dibangun dengan sertifikasi ISO. “Satu-satunya cara agar kita bisa mandiri di bidang kesehatan adalah dengan mengembangkan herbal secara serius,” tambah Agus.
Industri ekstraksi bahan alam di Indonesia juga semakin berkembang, dengan 18 Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) yang telah tersertifikasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). “Meski jumlahnya terus bertambah, pemanfaatannya dalam industri farmasi dan kesehatan masih terbatas karena distribusi di sektor pertanian yang masih harus diperbaiki,” sambung Agus.
Dosen RIL SCU Dr. Widhi Handayani mengatakan pihaknya juga memegang peran penting dalam pengintegrasian keilmuan dengan keberlanjutan keanekaragaman hayati. “Kurikulum kami membahas membahas sumber daya alam dan biodiversitas. Mahasiswa tidak hanya belajar bagaimana memanfaatkan, tetapi juga memahami dampaknya terhadap keberlanjutan,” jelasnya.
Sejalan dengan itu, Arya berharap diskusi ini dapat membuka peluang kolaborasi dalam mendukung konservasi dan pemanfaatan tanaman herbal. “Bisa meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya biodiversitas tanaman herbal serta strategi pemanfaatan dan pengelolaannya secara berkelanjutan,” tandasnya.