Kekerasan di lingkungan perguruan tinggi masih menjadi isu serius di Indonesia. Laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023 mencatat lebih dari 2.500 laporan kekerasan di kampus, dengan kekerasan seksual menduduki peringkat kedua tertinggi setelah kekerasan verbal dan psikologis. Data ini mencerminkan betapa belum amannya ruang akademik yang seharusnya menjadi tempat tumbuh dan belajar secara bebas serta bermartabat.
Menanggapi fenomena tersebut, pemerintah menerbitkan Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT). Regulasi ini menjadi mandat bagi seluruh perguruan tinggi untuk membentuk satuan tugas, menyusun prosedur penanganan, serta menyosialisasikan kode etik yang melindungi sivitas akademika dari segala bentuk kekerasan.
Sebagai bagian dari implementasi kebijakan tersebut, Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT) SCU menyelenggarakan kegiatan sosialisasi bertajuk “Ketika Ilmu Tak Lagi Menjaga: Asyik atau Toxic?” pada Senin, 26 Mei 2025. Bertempat di Lib Cafe, Kampus 1 SCU Bendan, forum ini berfokus pada sosialisasi revisi kode etik dosen di SCU dan upaya pencegahan kekerasan di lingkungan kampus.
Ketua Satgas PPKPT SCU Dr. Alberta Rika Pratiwi menjelaskan bahwa kekerasan di lingkungan perguruan tinggi sering kali tidak terlihat, tetapi dampaknya sangat besar. “Kami melihat langsung dari hasil publikasi riset bahwa kekerasan masih sering terjadi, baik itu kekerasan seksual, verbal, maupun dalam bentuk relasi kuasa,” ungkapnya.
Menurutnya, revisi kode etik dosen tahun 2024 di SCU telah mengakomodasi pasal-pasal dari Permendikbudristek. Hal ini dilakukan sebagai bentuk nyata perlindungan bukan hanya sivitas akademika, melainkan juga mitra luar kampus yang berinteraksi dengan perguruan tinggi.
“Kami ingin menciptakan lingkungan joyful learning yang benar-benar bebas kekerasan. Oleh karena itu, semua warga kampus harus disadarkan. Bukan hanya mahasiswa, tapi juga dosen sebagai figur sentral dalam proses pendidikan,” tegas Dr. Rika.
Rektor SCU Dr. Ferdinandus Hindiarto menekankan bahwa pencegahan kekerasan bukan semata-mata kepatuhan terhadap kebijakan, tetapi menyentuh aspek paling mendasar dalam pendidikan: cinta. “Pekerjaan dosen adalah pekerjaan fundamental. Ia mengubah, menentukan, dan membentuk hidup manusia. Maka harus dilakukan dengan cinta murni—cinta yang mengutamakan kepentingan yang dicintai, yaitu mahasiswa,” ujarnya.
Dr. Ferdinand mengkritik pendekatan pendidikan yang hanya berfokus pada administrasi tanpa menyentuh substansi relasi antar manusia. “Kalau relasi dosen-mahasiswa hanya sebatas presensi dan nilai, kita gagal membentuk manusia. Padahal pendidikan berbicara tentang perjumpaan yang memanusiakan, bukan sekadar transfer pengetahuan,” tambahnya.
Sosialisasi ini tidak hanya menyampaikan isi revisi kode etik dosen, tetapi juga mengajak para dosen untuk berefleksi atas relasi kuasa yang tak terhindarkan di ruang kelas. Dr. Rika menyatakan bahwa kekerasan tidak selalu muncul dalam bentuk fisik. “Ada tatapan tidak nyaman, ucapan merendahkan, atau tindakan yang disamarkan sebagai candaan. Ini semua bentuk kekerasan yang harus kita kenali dan hentikan,” jelasnya.
Lebih dari sekadar menghindari pelanggaran, menurut Dr. Ferdinand, dosen perlu menyadari bahwa setiap interaksi di kelas adalah peluang membentuk masa depan mahasiswa. “Kalau kita mengajar dengan cinta murni, maka tidak perlu Satgas PPKPT. Tapi karena realitas tak selalu ideal, kita perlu sistem perlindungan yang tegas dan manusiawi,” ujarnya.