Pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, Djoko Setijowarno, menganggap bahwa tarif murah yang dikenakan oleh transportasi on line perlu dipertanyakan. Bahkan bila perlu dilakukan audit.
“Transportasi on line khususnya Taksi On Line dipilih masyarakat karena mudah dan murah. Kalau mudah, memang tidak terbantahkan teknologi digital memang memberikan kemudahan. Namun kalau murah sampai tidak wajar, hal ini perlu dipertanyakan,” kata Djoko melalui keterangan tertulis yang diterima beritatrans.com dan aksi.id di Jakarta, Selasa (10/10/2017).
Djoko mengatakan, perlu ada perhitungan sebetulnya biaya (cost) yang wajar jika transportasi on line dijalankan apa adanya tanpa subsidi dan gimmick marketing. Tanpa subsidi dan gimmick marketing tak mungkin bisa harga menjadi sangat murah.
Menurutnya, jika taksi on line menjalankan bisnis dengan subsidi tidak wajar untuk memenangkan persaingan seharusnya bisa dianggap sebagai praktik bisnis yang tidak sehat.
“Nampaknya perlu ada upaya untuk mengaudit model bisnis semacam ini. Sebab pada kenyataannya di luar negeri tarif taksi on line tak banyak beda dengan taksi resmi,” kata Djoko.
Selanjutnya selain justifikasi formal dari pemerintah mengenai praktik bisnis yang tidak sehat, publik juga perlu dididik untuk memahami, bahwa taksi on line yang mereka sukai itu bisa sangat murah karena praktik bisnis yang tidak sehat, bukan semata mata teknologi digital menyebabkan tarif menjadi semurah itu.
Kalau pemerintah terlalu berpihak pada para kapitalis berkedok teknologi IT, pilihannya adalah mendidik masyarakat untuk lebih sadar dan peduli terhadap sikap dan perilaku mereka terkait taksi on line. “Bukankah konsumen taksi on line itu kelas menengah?” tuturnya.
“Sosialisasikan tarif wajar, bukan tarif murah, yang nantinya akan merugikan banyak pihak,” pungkas Djoko.