Pages

Tantangan Kota dan Big Data

TRBJ 26_07_2018 Tantangan Kota dan Big Data

Oleh: A Ryan Sanjaya *

Diskominfo Kota Semarang mengembangkan Internet of Things (IoT) yang mengarah pada konsep big data (tribunjateng.com, 23/7). Bagaimana sebaiknya pemerintah dan warga memahami program yang tergolong maju ini?

Secara antropologis-instrumental, teknologi adalah "kepanjangan tangan" manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kompleksitas kebutuhan kota, penggunaan teknologi adalah keniscayaan. Tanpanya, kota akan dijejali permasalahan yang melumpuhkan kehidupan urban.

Pengembangan IoT yang mengarah pada konsep big data di Kota Semarang disebutkan akan menyajikan gambaran detail tentang tata kelola kota. Cita-cita ini tidaklah bersifat utopis, bahkan sangat realistis. Namun, bagaimanapun juga, perlu ada pemahaman supaya teknologi benar-benar menjadi instrumen yang efektif.

Menilik Model 6V

Dalam rangka memahami kelindan kota dan big data ini, penulis meminjam pemikiran Inderpal Bhandar yang dalam suatu konferensi di Boston mengungkapkan rumus 6V dalam big data yaitu volume, variety, velocity, veracity, validity, dan volatility.

Pertama, konsekuensi logis dari model big data adalah mengumpulnya volume data yang sangat besar. Perubahan ini signifikan lantaran dulunya data dikumpulkan oleh manusia, bukan oleh mesin. Keterbatasan-keterbatasan yang dulunya ada kini dapat diatasi dengan teknologi.

Volume data yang sangat besar ini tentu membuat pengelola Kota Semarang perlu memiliki fasilitas penyimpanan yang tidak biasa. Bisa saja data disimpan menggunakan teknologi partisi ataupun yang lebih baru: cloud computing. Namun, yang lebih penting dari itu adalah menyusun arsitektur data yang mapan supaya dapat diakses dengan efektif.

Kedua, data yang bervolume besar itupun memiliki jenis dan sumber yang beragam (variety). Dulunya, sumber data berdasar pada kuesioner dan database. Saat ini data bisa berasal dari aplikasi, foto, GPS, alat untuk memonitor, CCTV, dan sebagainya.

Masih terkait dengan arsitektur data, perlu dibuat klasifikasi big data yang telah masuk. Proses ini biasanya disebut dengan clustering atau pengelompokan data berdasarkan ciri khusus. Untuk melakukannya, pengelola perlu menggunakan algoritma tertentu sesuai kebutuhan.

Ketiga, data tersebut dibagikan dan diakses dengan kecepatan (velocity) yang tak pernah dibayangkan sebelumnya atau real time. Kecepatan dan kelangsungan data yang cepat ini sangat membantu pengambil kebijakan dan pelaku bisnis untuk mengambil keputusan.

Salah satu dimensi dari kualitas pelayanan publik adalah responsiveness (ketanggapan). Hal ini mensyaratkan waktu yang relatif cepat untuk laporan warga. Dalam praktiknya, persoalan banjir di Semarang, harga barang di pasar, dan kondisi keamanan lingkungan membutuhkan data yang real time.

Keempat, data yang berjalan cepat itu bisa jadi data yang bias, abnormal, dan terlalu ‘riuh’ untuk langsung digunakan. Artinya, perlu ada strategi untuk mereduksi dan mengolah big data yang didapatkan itu supaya dapat berfungsi (veracity).

Pada prinsipnya, data digunakan sesuai dengan kebutuhan pengelola kota. Penulis yakin, pengelola Kota Semarang sudah memiliki strategi memetakan dan mereduksi data lewat bantuan dari perangkat-perangkat lunak yang sudah ada.

Kelima, mirip dengan bagian sebelumnya, pengguna big data tentu saja perlu menguji validitas (validity) data yang didapatkan. Tanpa diragukan lagi, data yang valid adalah kunci penting untuk membuat keputusan yang benar.

Persoalannya, tidak mudah untuk melakukan uji validasi pada big data karena sifatnya yang besar dan heterogen. Uji validitas dengan pendekatan statistika yang sudah ada tidak cukup untuk diterapkan pada big data. Namun hal itu bukan tak mungkin dilakukan. Fan, dkk (2014) dalam karya tulisnya telah memformulasikan empat metode uji validitas yang dapat diterapkan pada big data.

Keenam, terakhir, kita perlu menimbang jawaban dari pertanyaan seberapa lama data itu valid dan seberapa lama perlu ditampilkan (volatility). Hal ini terkait dengan aspek velocitiy di mana sangat dimungkinkan untuk mendapatkan data yang real time. Perlu ada pertimbangan khusus untuk menilai relevansi data dengan kebutuhan pengelola kota.

Menuju "Kota Pintar"

Dari pemaparan di atas, menurut penulis, "kota pintar" atau smart city sebagaimana dicanangkan oleh Pemerintah Kota Semarang adalah sebuah tujuan. Masih perlu ada begitu banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk benar-benar menerapkan teknologi informasi dalam pengelolaan kota, terlebih dalam penggunaan big data.

Soal teknologi dan infrastrukturnya, penulis optimistis, hal tersebut dapat dicapai. Bagaimanapun, orientasi dari teknologi adalah manusia. Maka secara singkat, kesiapan manusianya dalam menggunakan teknologi adalah hal paling vital. Baik pemerintah maupun warga, kita perlu menciptakan kebutuhan tersebut agar big data tak sekadar jadi angka dan grafik yang luput dimaknai.

*) Peneliti pada Pusat Studi Urban (PSU) Unika Soegijapranata; Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi

http://jateng.tribunnews.com, Tribun Jateng 26 juli 2018 hal. 2

Tag

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp