Penulis: Aloys Budi Purnomo*)
Menyambut Hari Bumi, 22 April 2020 yang pertama kali muncul di Amerika Serikat (AS), lagu nasional Ibu Pertiwi menggema dalam jiwa.
“Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, mas intan yang kau kenang. Hutan gunung sawah lautan, simpanan kekayaan. Kini ibu sedang lara merintih dan berdoa.” Sejarawan Adam Rome dalam The Genius of Earth Day (2010) menggambarkan, pada musim semi 1970, jutaan orang mengikuti pembelajaran, protes, dan perayaan Hari Bumi di seluruh AS. Namun kita hanya tahu sedikit tentang peristiwa-peristiwa itu.
Mungkin kita juga belum cukup berpikir tentang pentingnya Hari Bumi. Hari Bumi 1970 bukan hanya demonstrasi ekologis mencari dukungan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hari Bumi perdana telah melahirkan dan mengasuh generasi hijau pertama.
Setengah abad silam, Senator Gaylord Nelson (1916-2005), menyerukan kepedulian terhadap lingkungan. Nelson mengajak semua orang untuk membela dan memperjuangkan keadilan lingkungan yang terwujud dalam udara, air, tanah yang bersih, bebas dari polusi, kebutuhan dasar terpenting hidup manusia.
Hari Bumi perdana tidak berdiri sendiri, sebab menjadi rangkaian satu pekan Musim Semi Bumi. Tradisi itu bahkan sudah dimulai sejak tahun 1960-an ketika rangkaian demonstrasi memperjuangkan hak-hak sipil, feminisme, dan perdamaian di AS dimulai.
Solidaritas ekologis
Hari Bumi bukan hanya kenangan atas perayaan sehari melainkan rangkaian sepekan politik solidaritas ekologis yang melibatkan banyak pihak. Politik solidaritas ekologis mengandung kepekaan ekologis, melahirkan generasi hijau perdana yang peduli Bumi. Itu bukan demi mereka semata, melainkan demi generasi mendatang.
Rachel Carson (1904-1964) melalui Silent Spring (1962) mendendangkan litani musim semi yang sepi. Tanpa kicau burung. Tanpa kepak sayap Elang. Tanpa suara jengkerik dan ngengat. Semua itu akibat penggunaan pestisida yang berlebihan.
Seiring Silent Spring yang mengusik telinga nurani untuk peduli Bumi, mata terganggu pemandangan buram. Pantai Santa Barbara terpolusi tumpahan minyak. Sungai Cuyahoga di Cleveland tercemari limbah. Bumi mengalami degradasi ekologi.
Di tengah musim semi yang sepi itu terdengar ledakan tekad Gaylord Nelson yang menyerukan Hari Bumi. Bersama rangkaian sepekan Musim Semi Bumi, Nelson memberikan pembelajaran ekologis tentang aktivitas akar rumput demi merawat Bumi.
Didukung kekuatan dampak media massa yang mewartakannya, pembelajaran yang diwarnai politik solidaritas ekologis kian menggelora menggerakkan siapa saja untuk ambil bagian dalam gerakan Musim Semi Bumi. Ketika semua dan siapa saja bergandengan tangan melawan kejahatan terhadap lingkungan di sanalah politik solidaritas ekologis dihadirkan.
Politik solidaritas ekologis itu ditandai sikap aparatus negara yang terus bekerja melayani masyarakat berbasis kepekaan dan kepedulian terhadap masalah lingkungan melalui karir profesional mereka. Wajahnya tidak dicemari ketamakan dan keserakahan. Orientasinya bukan mengeruk sumber daya alam demi keuntungan sesaat dan mengabaikan generasi masa depan.
Matthew Wills (dalam Daily JSTOR, 15/4/2020) mencatat, melalui jalur-jalur politik solidaritas ekologis, para pencinta lingkungan menargetkan anggota kongres pada pemilu 1970, 1972, dan 1974 di Amerika Serikat. Kepedulian terhadap lingkungan pun menjadi keprihatinan politik lintas spektrum. Tak mengherankan bahwa sosok Richard Nixon sebagai Presiden Amerika Serikat yang dicap konservatif pun menandatangani tindakan legislatif lingkungan utama pada awal 1970-an.
Undang-undang yang melindungi spesies yang terancam punah dan memastikan udara dan air bersih menjadi prioritas. Sementara itu, Badan Perlindungan Lingkungan dan Undang-Undang Kebijakan Lingkungan Nasional (yang mengamanatkan pernyataan dampak lingkungan) menjadi fondasi bagi Hari Bumi setengah abad kemudian. Sayangnya, undang-undang itu dirusak dan dikhianati terus-menerus hingga timbullah krisis ekologis yang tak kunjung habis.
Politik Ibu Pertiwi
Setengah abad kemudian, bila kita membawa Hari Bumi itu ke pangkungan Ibu Pertiwi kita, tampaknya Ibu Pertiwi justru masih dirundung susah. Air matanya berlinang. Ibu Pertiwi menjerit kesakitan karena perilaku anak-anaknya yang serakah mengeruk sumber dayanya.
Politik solidaritas ekologis Ibu Pertiwi sangat jauh panggang dari api di Hari Bumi. Bahkan di tengah pandemi Covid-19, ternyata, diam-diam, di Rembang, terjadi operasi senyap representasi pemerintah pusat, daerah dan korporasi semen, yang justru terus melaju dalam upaya menghancurkan Pegunungan Kapur Purba Kendeng di Rembang. Mereka melakukan seremoni penandatanganan perjanjian pendirian perusahaan patungan dengan 6 BUMDes sekitar pabrik semen Rembang (9/4/2020). Inilah sinyalemen kuat, penghancuran ekosistem Pegunungan Kendeng akan semakin masif. Bagi pejuang Kendeng Lestari, pelibatan BUMDes sekitar pabrik semen Rembang merupakan legitimasi masyarakat yang palsu berbasis keuntungan finansial, bukan keadilan lingkungan yang menjadi kerisauan utama warga penolak pabrik semen.
Di Hari Bumi, politik ekonomi negeri ini tampaknya masih membuat Ibu Pertiwi terus berusah hati, berlinang air mata, menyaksikan tubuhnya dijarah anak-anaknya sendiri!
–Aloys Budi Purnomo, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata, Semarang
►https://investor.id/opinion/politik-solidaritas-ekologis-ibu-pertiwi