
Banjir besar melanda wilayah kota Semarang pada pekan pertama dan kedua Februari 2021. Banjir di ibu kota Provinsi Jawa Tengah itu merendam setidaknya 43 titik pada 5-7 Februari lalu, demikian data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah. Selain banjir kiriman dan banjir lokal, banjir rob merendam sejumlah kawasan di Kota Semarang, seperti di Kelurahan Kaligawe (Kecamatan Gayamsari) dan wilayah di Kecamatan Genuk. Mengutip laporan Antara, banjir dengan tinggi 40 cm terpantau masih merendam jalur Pantura di kawasan Genuk, Kota Semarang, pada 12 Februari 2021.
Banjir di Kota Semarang terjadi pada saat mayoritas wilayah Indonesia memasuki masa puncak musim hujan. Namun, apa hanya curah hujan tinggi yang memicu banjir Semarang pada Februari 2021? Menteri PUPR Basuki Hadimuljono memang mengatakan bahwa penyebab banjir Semarang bulan ini terutama adalah curah hujan ekstrem, yang siklusnya 50 tahun sekali, sekaligus pasang air laut yang cukup tinggi.
Dalam siaran resminya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menginformasikan bahwa banjir di Kota Semarang, yang melanda sedikitnya 5 kecamatan pada 6 Februari lalu dipicu oleh hujan dengan intensitas tinggi. Namun, menurut analisis Benediktus Danang Setianto, Dosen Pascasarjana Kajian Lingkungan dan Perkotaan dari Universitas Katolik Soegijapranata, curah hujan tinggi hanya salah satu faktor yang memicu banjir Semarang bulan ini. Selain curah hujan yang tinggi, beberapa faktor lain memiliki pengaruh penting terhadap banjir di Kota Semarang, kata akademikus yang biasa dipanggil Benny tersebut.
Benny menjelaskan, kondisi drainase, polder, dan pompa air memiliki peranan yang besar terhadap pengelolaan aliran air dari hulu ke hilir di Kota Semarang. “[Banjir terjadi] Dikarenakan saluran primer masih tergenang, dan juga saluran sekunder-tersier yang tidak layak untuk disalurkan, karena banyaknya sampah yang menyumbat drainase,” kata dia di Semarang, pada Kamis (18/2/2021). Dia berpendapat, banjir serupa berpotensi terjadi kembali di Kota Semarang, jika pemerintah tidak segera memperbaiki sistem drainase dan tata kelola air. “Kawasan Tanah Mas atau Semarang Utara, beberapa tahun belakangan ini tidak mengalami banjir karena telah memiliki drainase, atau sistem kelola air yang baik. Namun, karena banyak sampah yang menyumbat drainase, sistem yang dibuat untuk mengelola air tadi terhambat,” ujar Benny.
Konsumsi air tanah yang berlebihan di kawasan Semarang bawah (hilir), menurut dia juga menjadi faktor lain yang memicu banjir. Penggunaan air tanah secara berlebih, baik untuk industri maupun rumah tangga bisa memicu penurunan muka tanah (land subsidence). Di sisi lain, wilayah resapan air makin berkurang karena adanya peningkatan penggunaan lahan di kawasan Semarang bawah untuk pembangunan sarana baru, seperti bandara, hotel, hingga mall. Pembangunan yang masif jelas membuat landscape tanah berubah. Maka itu, Benny menyarankan agar pemerintah daerah memperketat pengawasan penggunaan air tanah dan lahan di Semarang. Ijin penggunaan lahan untuk bangunan, dengan demikian, juga perlu diperketat. Langkah tersebut penting dalam mencegah penggunaan lahan yang serampangan untuk kegiatan pembangunan. “Kalau daerahnya rawa, dengan tanah endapan yang empuk, tidak mungkin didirikan bangunan. Kalau dipaksakan, kemudian terjadi banjir, kan bukan salah airnya,” terang Benny.
Dia mencatat, kawasan Tembalang Atas merupakan contoh lahan dengan permukaan rawa yang saat ini telah ditutupi bangunan-bangunan besar dan perumahan. Ironisnya, belum ada drainase yang berkualitas baik untuk menggiring air dari kawasan itu ke sungai atau waduk penampung.
Sumber: https://tirto.id/garR.