Oleh : Sri Sulistyanto
Tak bisa dipungkiri jika salah satu topik menarik akhir tahun 2017 lalu adalah Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta. Mulai dari jumlah anggotanya yang dianggap bejibun. Anggaran Rp 28 miliar yang dinilai tidak jelas payung hukumnya. Perlu tidaknya tim tersebut. Sampai dengan darimana sumber pembiayaannya.
Padahal, jika mau meniru apa yang dilakukan Blue Thunder, semua perdebatan tentang unit kerja non struktural semacam itu tidak perlu terjadi. Lho, memangnya siapa sih Blue Thunder?
Memerdekakan Komunikasi
Blue Thunder, menurut buku Cracking Zone (2011) yang ditulis Prof Rhenald Kasali, adalah tim marketing yang dibentuk oleh Hasnul Suhaimi, Dirut PT. Excelcomindo Pratama Tbk, perusahaan operator komunikasi seluler XL, sekitar tahun 2006. Saat ingin merebut pasar seluler. Yang waktu itu dikuasai oleh Telkomsel dan Indosat.
Kuatnya Telkomsel dan Indosat membuat Hasnul Suhaimi sadar bahwa XL tidak mungkin menggunakan strategi seperti biasanya, standar, dan generik untuk menghadapi mereka. Seperti tarif “murah”, cakupan pelayanan, maupun kemampuan jaringan dalam melayani traffic komunikasi. Dia tahu bahwa pasar harus direbut dengan cara yang unik dan menghentak.
Alasan itulah yang mendorong Hasnul Suhaimi membentuk tim Blue Thunder. Dengan orang-orang terbaik di perusahaannya. Yang ditugaskan untuk mencari dan mengembangkan gagasan out of the box. Yang tidak hanya bisa menjadi senjata untuk face to face war dengan kompetitornya. Namun juga dapat membuat pesaingnya berdarah-darah. Dan terpaksa mengikuti permainannya.
Hasnul Suhaimi juga memahami bahwa tidak mungkin ide segar bisa muncul dari belakang meja. Karenanya seluruh anggota tim dikirim keluar kandang untuk terjun langsung ke lapangan. Agar bisa menangkap keinginan dan kebutuhan masyarakat dalam berkomunikasi.
Meski tahu itu semua tidak mudah dan murah, Hasnul Suhaimi bertekad mendukung tim tersebut. Dengan memberikan akses tak terbatas. Baik terhadap data maupun pembiayaan. Meski targetnya juga tidak main-main. Karena setiap orang harus membawa pulang 10 gagasan baru. Yang belum pernah ada dan digunakan oleh siapapun. Sehingga dengan jumlah anggota sebanyak 14 orang, dia berharap akan memperoleh 140 ide unik dan “liar”.
Ketika tenggat waktunya berakhir, semua ide itu kemudian disajikan, didiskusikan, dan diadu dengan tim direksi. Termasuk melakukan simulasi untuk menemukan kelemahan, keunggulan, tantangan, dan peluang setiap gagasan. Agar semua celah dapat ditutup. Sehingga benar-benar matang saat digunakan sebagai strategi perangnya.
Proses panjang dan mahal tersebut akhirnya terbukti membuat XL tercatat dalam sejarah pertelekomunikasian nasional. Karena berhasil merombak landscape bisnis komunikasi seluler. Yang tadinya mahal menjadi sangat murah dan mudah diakses oleh siapapun.
Lalu apa hubungannya dengan unit kerja non struktural pemerintah? Bisa jadi Pemerintah mempunyai alasan sama dengan Dirut XL. Yakni merasa tidak bakal menemukan senjata pamungkas jika hanya menugaskan unit regulernya. Karena unit semacam ini terlanjur terbiasa bekerja secara linier. Terlalu intens melihat kedalam. Serta terbelenggu dengan bayangan keberhasilan masa lalunya.
Namun demikian, masalahnya, berbeda dengan Blue Thunder, tim kerja non struktural pemerintahan kadang tidak jelas arah dan mau dibawa kemana. Bahkan sering ditengarai sekedar untuk mewadahi orang-orang yang tidak memperoleh kursi di pemerintahan, politik balas budi, maupun meredam suara-suara kritis.
Jadi jangankan berhasil mengembangkan karya orisinil dan implementatif. Tim kerja non struktural kadang malah dikawatirkan akan merecoki unit pemerintahan yang resmi. Karena, jika dicermati, deskripsi pekerjaannya tidak jauh berbeda dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) lembaga resmi yang ada.
Beda halnya jika tim kerja non struktural tersebut diisi oleh para profesional. Yang mempunyai totalitas, komitmen, dan kompetensi untuk mengembangkan ide-ide pembangunan yang unik, komprehensif, dan implementatif. Sejalan dengan kompleksitas permasalahan di negara ini. Yang memang tidak bisa diselesaikan dengan cara yang biasa-biasa saja, standar, dan generik. Apalagi sekedar dengan konsep yang indah ketika diucapkan.
Catatan Penutup
Karenanya bukan tanpa alasan jika pemerintah sebaiknya mengevaluasi keberadaan tim-tim kerja non struktural. Baik dari tujuan, target, reward, maupun punishment system-nya. Termasuk jumlah, kompetensi, dan kapasitas anggotanya. Agar mereka bisa seperti Blue Thunder yang berhasil mengubah struktur bisnis operator komunikasi seluler di Indonesia. Setuju? (*)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata Semarang