
Program Studi Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Soegijapranata Catholic University (SCU) menyelenggarakan Kuliah Umum “Semarang’s Christian Orphanages: Sharing a Past, Memories, and Reflections between Indonesia and the Netherlands” di Gedung Thomas Aquinas, Kampus 1 SCU Bendan pada Jumat, 3 Oktober 2025. Forum ini menghadirkan peneliti asal Belanda, Dr. Maaike Derksen (Radboud University Nijmegen) dan Dr. Chiara Candaele (KNAW Humanities Cluster) yang selama lebih dari satu tahun meneliti sejarah panti asuhan Kristen di Semarang.
Keduanya membagikan hasil riset mereka mengenai dinamika panti asuhan Katolik dan Protestan di Semarang sebagai bagian dari jaringan lembaga serupa di Hindia Belanda. Penelitian ini menelusuri bagaimana panti asuhan tidak hanya menjadi tempat perlindungan bagi anak-anak, tetapi juga menjadi ruang pembentukan nilai-nilai moral dan sosial sesuai ideologi kolonial yang berlaku saat itu.
“Panti asuhan bukan hanya tempat amal Kristen, tetapi juga tempat di mana pemerintah kolonial dan gereja membentuk identitas anak-anak sesuai dengan cita-cita Eropa,” ujar Dr. Chiara.
Melalui penelusuran arsip di Arsip Nasional Republik Indonesia (Jakarta) dan National Archives of the Netherlands (Den Haag), mereka berhasil menemukan dokumen penting seperti daftar anak asuh, surat keputusan pemerintah kolonial, dan catatan harian para suster. Temuan tersebut mengungkap bagaimana ribuan anak hasil pernikahan antara serdadu Eropa dan perempuan pribumi, dikelompokkan ke dalam kategori “Eropa” secara hukum, dan kemudian diasuh serta dididik untuk menjadi “warga kolonial ideal.”
Dr. Maaike menjelaskan, proses penelusuran arsip ini menggambarkan sejarah yang tersebar dan terfragmentasi di kedua negara. “Kami menyebut metode kami paper trail methodology, menelusuri jejak hidup anak-anak ini melalui potongan dokumen dari berbagai arsip di Indonesia dan Belanda,” jelasnya.
Salah satu kisah yang dipaparkan adalah tentang Johann Carl Fright, anak tunarungu hasil hubungan serdadu Jerman dan perempuan Jawa pada masa Perang Diponegoro. Melalui dukungan pemerintah kolonial, ia dikirim ke Belanda untuk memperoleh pendidikan keterampilan di sekolah khusus sebelum kembali ke Jawa dan bekerja di pabrik senjata di Surabaya. Cerita Fright dan keturunannya menggambarkan bagaimana panti asuhan menjadi ruang pertemuan antara politik, agama, dan kehidupan pribadi dalam sejarah kolonial.
Kuliah umum ini juga menyoroti peran para suster dan bruder dalam pengelolaan panti asuhan di wilayah Karang Panas dan Candi, Semarang yang menampung lebih dari 400 anak pada awal abad ke-20. Selain memberikan pendidikan agama, mereka juga menanamkan disiplin, keterampilan kerja, dan nilai-nilai Eropa melalui kegiatan seperti musik, olahraga, serta tata tertib harian yang ketat.
Melalui forum ini, PMLP SCU berupaya menghadirkan ruang refleksi tentang warisan kolonial dan identitas lintas budaya yang masih membentuk hubungan antara Indonesia dan Belanda hingga kini. “Kami berharap kegiatan ini menjadi wadah untuk memahami sejarah bukan hanya sebagai masa lalu, tetapi juga sebagai jembatan dialog antarbangsa,” ujar Ketua PMLP SCU Hotmauli Sidabalok, PhD.
