Pusat Studi The Java Institute (TJI) Soegijapranata Catholic University (SCU) kembali menghadirkan ruang dialog budaya melalui kegiatan “TJI Tea Talk” bertema “Sayap Sayup Sriti: Maturity Through the Eyes of Awareness.” Diselenggarakan pada Rabu, 7 Mei 2025 di Laboratorium Kolaborasi, Kampus 1 SCU Bendan, kegiatan ini menghadirkan Penulis Buku “Sayap Sayup Sriti” Rm. Vincentius Kirjito, Pr. sebagai narasumber utama. Selain itu, seminar ini juga menghadirkan berbagai narasumber multidisiplin, yaitu: Tukiman Tarunasayoga, PhD (Dosen Program Doktor Ilmu Lingkungan SCU) yang menyoroti sisi filosofi Jawa; Angelika Riyandari, PhD (Dosen Sastra Inggris SCU) yang mengulas aspek semiotika dan hyperreality; Louis Cahyo Kumolo Buntaran, MM (Dosen Desain Komunikasi Visual SCU) yang membahas visual dan teknologi, sertal Muhammad Abdul Qodir, M.A. yang mengupas dimensi spiritual dalam buku Rm. Kirjito.
Kegiatan Tahunan TJI SCU
Krismalita Sekar Diasti, MPd, Ketua Pusat Studi TJI SCU mengatakan bahwa ini adalah kali ketujuh pihaknya mengadakan seminar. Kali ini dengan konsep berbeda, seminar dikemas dalam bentuk talkshow dengan memanfaatkan teknologi green screen di Laboratorium Kolaborasi. “Tema yang dipilih sejalan dengan semangat yang disampaikan oleh Romo Kirjito dalam bukunya terutama dalam melihat realita dan meningkatkan kesadaran akan kedewasaan mata.” ungkapnya. Diskusi ini pun menurut keterangannya menjadi bagian dari komitmen TJI dalam menggali, melestarikan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Jawa yang kaya makna dan relevan dengan kehidupan modern.
Analogi Burung Sriti
Sebagai penulis buku, Rm. Kirjito sendiri merupakan tokoh agama dan budayawan yang aktif dalam pelestarian lingkungan hidup. Dalam buku yang ditulisnya, burung sriti menjadi simbol kesadaran dan kebijaksanaan. “Ketika saya melihat burung sriti hinggap saya melihatnya berwarna hitam, tapi ketika saya foto dengan kamera ternyata burung sriti tersebut berwarna.” jelasnya.
Beliau kemudian membandingkan pengalaman langsung itu dengan apa yang terlihat di layar komputer burung yang sama terlihat berbeda warnanya. Hal ini memicu pertanyaan dalam dirinya: “mana yang benar, mata manusia atau kamera?” Dari sini muncul kesadaran bahwa apa yang terlihat belum tentu benar. “Kita jangan terlalu mudah percaya pada apa yang dilihat,” katanya.
Kaitan dengan Filosofi ‘Eling lan Waspada’
Panelis Diskusi sekaligus Dosen Fakultas Arsitektur dan Desain SCU Dr. Robert Riyanto W. menjelaskan bahwa di tengah derasnya arus informasi digital, mata manusia menjadi indra yang paling mudah diprovokasi terutama oleh teknologi. “Tayangan di layar bukan hanya masuk ke mata, tetapi meresap ke dalam otak dan membentuk cara berpikir kita. Diperlukan sebuah kesadaran seperti dalam filosofi jawa yaitu eling lan waspada,” terangnya.
Berangkat dari sana, ia pun mengajak para generasi muda agar selalu sadar dan waspada dalam memilah serta menilai informasi, terlebih dalam penggunaan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI). Lebih lanjut, ia juga berharap kegiatan ini menjadi pengingat bagi generasi muda, khususnya mahasiswa untuk meningkatkan kesadaran untuk melihat segala sesuatu secara utuh. “Kita diajak untuk lebih sadar dalam melihat, memilah, dan memahami informasi mana yang sesuai dengan realita dan tidak. Tidak sekedar dari layar yang bahkan kita tidak mengetahui kebenarannya,” tegasnya. (Humas SCU/Tisha)