Program Studi Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Soegijapranata Catholic University (SCU) menyelenggarakan Bedah Buku “Ekologi Positif untuk Kebahagiaan” pada Kamis, 18 September 2025 di Mini Theater Albertus, Kampus 1 SCU Bendan. Dikemas dalam forum diskusi rutin bertajuk “Ruang Rabu,” kegiatan tersebut menghadirkan Guru Besar Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga sekaligus Antropolog Budaya Prof. Sumanto Al Qurtuby.
Moderator sekaligus Editor Buku Patrick Danardono, MH menjelaskan bahwa buku ini menyoroti bagaimana eksploitasi yang dilakukan manusia telah menimbulkan kerusakan lingkungan, namun di saat yang sama menawarkan jalan menuju pertobatan ekologis. Refleksi kritis pun dihadirkan untuk mengingatkan kembali bahwa manusia hanya dapat menemukan kembali kebahagiaannya ketika hidup selaras dengan alam.
Jelas Patrick, menurut buku tersebut, jika kecintaan pada alam dilihat sebagai sumber kebahagiaan manusia, maka semestinya tidak perlu lagi ada regulasi, peraturan, pengawasan, dan kontrol yang ketat terhadap alam. Hal tersebut dikarenakan kesadaran ekologis sudah tumbuh sejak dalam diri.
“Ketika sudah menyadari berbagai eksploitasi yang sudah dilakukan dan apa yang harus dilakukan terhadap alam, buku ini menawarkan berbagai gerakan untuk mengupayakan alam kembali lestari dan menemukan keindahannya. Sejatinya, manusia yang bisa hidup dalam harmoni dengan alam yang lestari tentu juga akan menemukan kembali kebahagiaannya,” terang Dosen PMLP SCU tersebut.
Di sisi lain, Prof. Sumanto menyampaikan bahwa relasi manusia dengan alam sejak masa purba hingga kini memperlihatkan pergeseran besar. “Manusia purba yang merupakan masyarakat pemburu dan peramu hidup sepenuhnya bergantung pada alam, sementara dalam masyarakat industri modern, relasi itu kerap berubah menjadi hubungan yang eksploitatif,” tandasnya.
Bersamaan dengan itu, ia juga menyoroti bahwa agama memiliki peran besar dalam membentuk pandangan tersebut, namun kerap memunculkan ambiguitas. Menurutnya, di satu sisi, teks-teks keagamaan banyak menyerukan perawatan lingkungan, tetapi di sisi lain sering kali menempatkan manusia sebagai penguasa tunggal atas alam. “Pandangan yang sangat antroposentris ini justru dapat menjadi pemicu manusia berbuat destruktif terhadap lingkungan, karena merasa berhak memperlakukan alam sesuka hati,” tegasnya.
Senada dengan itu, Patrick menilai diskusi sejenis penting bukan hanya untuk sivitas akademika, melainkan juga masyarakat luas. “Menjadi ruang refleksi bahwa menjaga alam bukan sekadar kewajiban moral, melainkan syarat utama untuk kebahagiaan manusia. Pesan yang ingin kami sampaikan jelas, mencintai bumi adalah bagian dari mencintai kehidupan itu sendiri,” tuturnya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya agar gagasan ekologis tidak hanya berhenti di ruang akademik, tetapi dapat ditransformasikan menjadi kebijakan publik yang ramah lingkungan. “Diskusi seperti ini bagus di ranah akademik, tetapi bagaimana bisa naik kelas menjadi public policy yang mempengaruhi sikap masyarakat, itulah tantangan yang lebih penting,” ujarnya. Menurutnya, negara sebagai pembuat kebijakan harus ikut terlibat dalam menciptakan regulasi yang berpihak pada kelestarian alam, bukan sebaliknya memperparah kerusakan hutan dan lingkungan.
