
Dampak kebijakan tarif AS pada industri furniture dan mebel Indonesia menjadi sorotan Talkshow yang diselenggarakan Program Studi Magister Manajemen (MM) Soegijapranata Catholic University (SCU) dalam rangka merayakan Dies Natalis yang ke-25. Forum yang digelar secara hybrid di Lib Cafe, Gedung Thomas Aquinas, Kampus 1 SCU Bendan pada Sabtu, 8 November 2025 tersebut menghadirkan Prof. MY. Dwi Hayu Agustini (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis SCU), Fransiskus Prabawa (Direktur CV. Mebel Internasional), dan Albertus Kuswidiarso (Ketua DPP Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Semarang Raya).
Bersama mahasiswa, alumni, dan para dosen, mereka mengupas bagaimana kebijakan proteksionis global yang dilakukan AS justru menjadi momentum bagi industri mebel dan furniture Indonesia untuk memperkuat posisi strategisnya di pasar internasional.
Fransiskus tidak menampik bahwa kebijakan tarif yang diterapkan AS memang menekan arus ekspor Indonesia. Namun, kebijakan ini juga membuka celah bagi negara-negara non-China, khususnya bagi mereka yang mampu membaca arah pasar global, untuk mengambil alih pasar.
“Kita tidak bisa hanya mengeluh pada kebijakan luar negeri negara lain. Justru dari tekanan tarif itu, ada peluang untuk memperluas jaringan ekspor ke pasar Asia dan Eropa Timur yang kini tumbuh cepat. Pasar tidak pernah benar-benar mati, hanya bergeser. Tantangan tarif bisa menjadi peluang jika kita mampu membaca perubahan rantai pasok global,” ujar Fransiskus.
Menurutnya, industri mebel dan furniture Indonesia perlu mempercepat inovasi dan memperkuat identitas brand. Hal ini penting dilakukan agar industri dapat mengembangkan keunikan produk dan ketahanan rantai pasok sebagai modal menjadi pemain utama dengan nilai tambah tinggi di pasar ekspor, bukan hanya pemasok bahan mentah.
Di sisi lain, Prof. Hayu menyoroti bahwa kebijakan tarif merupakan salah satu bentuk trade barrier sebagai strategi perang dagang yang menuntut kemampuan adaptasi secara cepat. “Kita tidak bisa hanya bereaksi, tetapi harus proaktif. Adaptasi strategi bisnis menjadi kunci, baik dalam bahan baku, pasar, maupun model distribusi,” jelas Ketua Program Studi MM SCU tersebut.
Beliau menambahkan, isu global seperti ini penting dikaji di lingkungan kampus untuk memperkuat pendekatan pembelajaran berbasis kasus (case-based learning), agar mahasiswa memahami konteks manajerial lintas negara secara konkret. Ia juga menegaskan bahwa kajian terhadap isu global selalu menjadi perhatian pihaknya dalam menghubungkan teori dengan persoalan nyata yang dihadapi dunia bisnis.
“Dies Natalis menjadi momen merefleksikan sejauh mana pendidikan kita bisa merespons dinamika ekonomi global. Isu seperti ini mengajarkan bahwa strategi bisnis tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik internasional. Karena itu, penting bagi mahasiswa mempelajari dinamika global sebagai bagian dari pengambilan keputusan strategis,” terangnya.
Sejalan dengan itu, Kuswidiarso turut mengapresiasi langkah MM SCU dalam memberikan wadah diskusi bagi akademisi dan pelaku industri. “Industri mebel saat ini sedang tidak mudah. Namun, dari kebijakan tarif tersebut sebenarnya ada peluang baru, terutama bagi pasar Asia yang kini tumbuh pesat. Karena itu, kolaborasi dengan akademisi menjadi sangat penting agar pelaku industri dapat memahami konteks ekonomi global secara lebih utuh,” harapnya.
