AI Generatif dan Potensi Budaya, Mahasiswa TI SCU Diajak Jembatani Teknologi dan Kearifan Lokal

AI Generatif dan Potensi Budaya, Mahasiswa TI SCU Diajak Jembatani Teknologi dan Kearifan Lokal

Program Studi Teknik Informatika (TI) Soegijapranata Catholic University (SCU) menyelenggarakan Kuliah Umum “AI Generatif: Dalam Eksplorasi Potensi Budaya” di Theater Thomas Aquinas, Kampus 1 SCU Bendan pada Selasa, 4 November 2025. Dalam forum ini, mahasiswa berdiskusi bersama Founder AI Nusantara, Gustav Anandhita, MT, guna memahami pemanfaatan teknologi AI, khususnya AI generatif, untuk mengangkat dan melestarikan nilai dan budaya Indonesia.

Upaya Program Studi

Ketua Program Studi TI SCU, Yonathan Purbo Santosa, MSc, menjelaskan bahwa pihaknya ingin mahasiswa memahami arah dan makna dibalik penerapan teknologi yang mereka kuasai. “Mahasiswa punya kemampuan coding-nya bagus, tapi sering bingung, ‘Saya bikin AI ini untuk apa?’ Kuliah umum ini menjembatani hal itu. Harapannya, mahasiswa lebih peduli dan berani melihat masalah dari sudut pandang TI, dan menemukan ide-ide baru untuk dieksplorasi,” tandasnya.

Yonathan menambahkan, selama ini fokus mahasiswa TI SCU terhadap AI mayoritas hanya pada keamanan data (security) dan kesehatan (biomedicine). Melalui kuliah umum ini, program studinya ingin membuka arah baru, yaitu AI untuk kebudayaan.

“TI tidak bisa berdiri sendiri. Komputer dibuat untuk bidang lain, bisa kesehatan, ekonomi, bahkan budaya. Kami ingin memperluas wawasan mahasiswa agar AI juga bisa berkontribusi dalam pelestarian budaya,” jelasnya.

Sampaian

Dalam pemaparannya, Gustav menunjukkan bagaimana AI generatif bekerja melalui teknik prompting, cara memberikan instruksi yang spesifik agar AI dapat menghasilkan output yang relevan. “Kalau kita minta AI bikin ‘princess’, bisa keluar Putri Inggris atau Jepang. Tapi kalau kita tambahkan ‘Javanese princess with kebaya emas and melati hair ornaments’, hasilnya langsung mengarah ke budaya Jawa,” terang Gustav mencontohkan.

Ia menekankan bahwa kekuatan AI generatif tidak hanya diteentukan oleh kecanggihannya, tetapi juga pada kemampuan dalam merancang prompt. Menurutnya, di balik prompt yang baik, selalu ada gagasan dan orisinalitas penciptanya. “Bagi desainer atau arsitek, prompt itu seperti karya itu sendiri. Visualnya bisa ribuan, tapi ide di balik prompt itulah yang menentukan nilai kreatifnya,” ujar Dosen Arsitektur SCU tersebut.

Gustav juga membagikan berbagai riset dan proyek yang ia kembangkan bersama AI Nusantara, termasuk pemanfataan dataset budaya Indonesia untuk mengembangkan elemen-elemen khas Nusantara, seperti Leak Bali dan Tongkonan Toraja, melalui AI.

Ada pula penelitiannya yang menarik yaitu menggunakan AI untuk konservasi batik dengan melestarikan pola-pola yang hampir punah, sekaligus membuka kemungkinan desain baru yang tetap berpijak pada akar tradisi. “Kami posisikan AI di awal proses untuk merancang pola. Namun, proses pewarnaan dan nyanting tetap dilakukan secara manual. Di situ, ada nilai kemanusiaan yang tetap dijaga,” ungkap Gustav.

Peluang Baru

Gustav mendorong mahasiswa untuk melihat AI sebagai peluang bisnis. Ia mencontohkan bahwa kini prompt pun bisa dijual, dan banyak perusahaan tertarik pada otomatisasi AI untuk pemasaran, logistik, hingga desain. “Dunia sudah berubah. Sekarang teks saja punya nilai ekonomi. Prompt bisa dijual, AI bisa bantu bikin konten, desain, bahkan produk,” katanya.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp